Pages

Muhamad Masikin's Slidely by Slidely Slideshow

Rabu, 13 November 2013

Hukum Jaminan




BAB II
HUKUM JAMINAN

A.    ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM JAMINAN
Istilah Hukum Jaminan merupakan terjemahan dari isitlah security of law, zekerheadsstelling, atau zekerheadsrecthen. Dalam keputusan seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tanggal 9 sampai dengan 11 oktober 1978 di Yogyakarta menyimpulkan, bahwa istilah “hukum jaminan” itu meliputi pengertian baik jaminan kebendaan maupun perorangan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, pengertian hukum jaminan yang diberikan didasarkan kepada pembagian jenis lembaga hak jaminan, artinya tidak memberikan perumusan pengertian hukum jaminan, melainkan memberikan bentang lingkup dari istilah hukum jaminan itu, yaitu meliputi jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.
Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak literature yang merumuskan pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yan mengatur tentang jaminan piutang seseorang (J. Satrio, 2002: 3). Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang megatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk medapatkan fasilitas kredit (Salim HS, 2004: 6).
Dari dua pendapat perumusan pengertian hukum jaminan diatas dihubungkan dengan kesimpulan Seminar Hukum Jaminan tahun 1978, intinya dari hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditor) sebagai akibat pembebanan suatu hutang tertentu (kredit) dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu). Dalam hukum jaminan tidak hanya mengatur perlindungan hukum terhadap kreditor sebagai pihak pemberi utang saja, melainkan juga mengatur perlindungan hukum terhadap debitur sebagai pihak penerima hutang. Dengan kata lain, hukum jaminan tidak hanya mengatur hak-hak kreditor yang berkaitan dengan jaminan pelunasan utang tertentu, namun sama-sama mengatur hak-hak kreditor dan hak-hak debitur berkaitan dengan jaminan pelunasan utang tertentu tersebut.
Berdasarkan pengertian diatas, unsure-unsur yang terkandung didalam perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut:
1.     Serangkain ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang tidak tertulis.
2.     Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan (kreditor).
3.     Adanya jaminan yan diserahkan oleh debitur kepada kreditor
4.     Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan uang tertentu.

B.    SUMBER PENGATURAN HUKUM JAMINAN
Istilah sumber hukum dapat dipergunakan dalam tiga pengertian berbeda yang satu dengan yang lainnya, meskipun sebenarnya antara pengertian yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang erat, bahkan menyangkut substansi yang sukar dipisahkan, yakni:
1.     Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai asalnya hukum pisitif, wujudnya dalam bentuk yang konkret, yakni berupa keputusan dari yang berwenang untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan.
2.     Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukan aturan dan ketentuan hukum positif merupakan pula yang penting bagi setiap orang yang ingin mengetahui atau menyelidiki hukum positif dari suatu tempat pada waktu tertentu.
3.     Sumber hukum dalam artian ketiga, yakni hal-hal yang seharusnya dijadikan pertimbangan oleh penguasa yang berwenang didalam nanti akan menentukan isi hukum positifnya, juga harus memperhatikan faktor-faktor politis, agama, hubungan internasional dan lain-lainnya (Joeniarto, 1987: 1 dan seterusnya).
Pengertian sumber hukum jaminan disini, yakni tempat ditemukannya aturan dan ketentuan hukum serta perundang-undangan (tertulis) yang mengatur mengenai jaminan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan jaminan. Aturan dan ketentuan hukum dan perundang-undangan jaminan yang dimaksud adalah hukum positif, yaitu ketentuan jaminan yang sedang berlaku pada saat ini.
Ketentuan yang secara khusus atau yang berkaitan dengan jaminan, dapat ditemukan dalam:
1.     Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Ketentuan dalam Pasal-Pasal Buku II KUH Perdata yang mengatur mengenai lembaga dan ketentuan hak jaminan dimulai dari Titel Kesembilan Belas sampai dengan Titel Dua Puluh Satu Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1232. Dalam Pasal-Pasal KUH Perdata tersebut diatur mengenai piutang-piutang yang diistimewakan, gadai dan hipotek.
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka pembebanan hipotek atas hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak lagi menggunakan lembaga dan ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata.
Selain mengatur hak jaminan kebendaa, dalam KUH Perdata diatur pula mengenai jaminan hak perseorangan, yaitu penanggulangan utang (borghtocth) dan perikatan tanggung menanggung. Jaminan hak perseorangan ini tidak diatur dalam Buku II KUH Perdata, melainkan diatur dalam Buku KUH Perdata, yaitu pada Title Ketujuh Belas dengan judul “Penanggungan Utang”, yang dimulai dari pasal 1820 sampai dengan pasal 1850. Pasal-pasal tersebut mengatur mngenaipengertian dan sifat penanggungan utang, akibat-akibat penanggungan utang antara debitur (yang berhutang) dan penjamin (penanggung) utang serta antara para penjamin utang dan hapusnya penanggungan utang.
Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum jaminan dalam KUH Perdata tidak hanya bersumber kepada Buku II, melainkan bersumber pada Buku III, yaitu mengatur hak jaminan kebendaan dan hak jaminan perseorangan.

2.     Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang)
KUH Dagang merupakan terjemahan dari wetboek van koophandel sebagaimana termuat dalam staatsblad 1847 nomor 23, yang semua di peruntukan bagi golongan penduduk Eropa, yang kemudian seluruhnya juga di berlakukan kepada golongan penduduk Tionghoa dan Timur Asing lainnya dan bahkan diberlakukan kepada golongan penduduk pribumi. Pada dasarnya KUH Dagang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan hukum perdata khusus, yang terdiri atas 2 (dua) buku, yaitu buku I tentang dagang pada umunya dan buku II tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari pelayaran, lazimnya mengatur mengenai hukum pengangkutan laut.

3.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria
Secara khusus ketentuan mengenai hypotheek dan peraturan credietverband tetap dinyatakan masih berlaku sampai dengan diaturnya lembaga hak jaminan atas tanah yang baru.
Sesuai dengan tujuan pokoknya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bukan saja mencabut ketentuan dalam pasal-pasal dari Buku II KUH Perdata, juga mencabut beberapa ketentuan colonial lainnya sepanjang yang mengatur bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dengan berdasarkan Surat Departemen Pertanian dan Agraria Nomor Undang 10/3/29 tanggal 26 Februari 1961 memerinci berlakunya pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan dalam Buku II KUH Perdata sebagai berikut:
a.     Ada pasal-pasal yang masih berlaku penuh karena tidak mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya;
b.     Ada pasal-pasal yang menjadi tak berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang mengatur bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya;
c.      Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan masih tetap berlaku sepanjang mengenai benda-benda lain (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981: 4).
Berkaitan dengan hukum jaminan, dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pengganti lembaga Hipotek (Hypotheek) dan credietverband, yang akan diatur dalam suatu Undang-undang tersendiri. Namun selama belum ada Undang-undang yang mengatur Hak Tanggungan tersebut sesuai yang dikehendaki oleh Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, bahwa dalam kurun waktu tersebut masih diberlakukan ketentuan hipotek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan ketentuan credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, sepanjang hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
Oleh karena itu, sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pengertian hipotek dan credietverband disini hendaknya diartikan sebagai “Hak Tanggungan” yang pengertiannya sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190.

4.     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, dengan ketentuan dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa:

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai credietverband sepenuhnya tidak diperlukan lagi. Sedangkan ketentuan mengenai hypotheek yang tidak berlaku  lagi hanya yang menyangkut pembebasan hypotheek atas Hak atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 4 Tahun1996 dengan dihubungkan dengan penjelasannya, maka dapat disimpulkan:
1.     Dengan sendirinya ketentuan-ketentuan mengenai credietverband seluruhnya tidak berlaku lagi;
2.     Ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek sepanjang yang menyangkut pembebanan hipotek hak atas Tanah dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak berlaku lagi, sedangkan ketentuan mengenai hypotheek yang menyengkut pembebanan hipotek atas benda-benda lainnya yang bukan hak atas beserta dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, masih tetap berlaku sebagaimana adanya sampai dengan diperbaruinya (Buku II) KUH Perdata tersebut.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak memerlukan terlalu banyak peraturan pelaksanaannya sebagai tindak lanjutnya. Hal-hal yang perlu ditindak lanjuti sebagaimana diperintahkan secara oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, meliputi:
1.     Dalam bentuk peraturan perundang-undangan:
a.    Ketentuan tentang penentuan batas waktu berlaukunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) untuk jenis kredit tertentu (pasal 15 ayat(5)).
b.    Ketentuan tentang penyesuaian buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan (Pasal 24 ayat (2)).
c.    Ketentuan lebih lanjut untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, sepanjang tidak ditentukan lain Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996.
2.     Dalam bentuk peraturan pemerintah:
a.    Ketentuan tentang pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas Tanah Milik (Pasal 4 ayat(3)).
b.    Ketentuan tentang sanksi administrative pelanggaran atau kelalaian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris dalam memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996.
Dengan demikian, setelah lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, keseluruhan ketentuan mengenai lembaga Hak Jaminan Hak Tanggungan diatur dalam suatu Undang-undang tersendiri diluar KUH Perdata. Sejak saat itu tidak lagi berlangsung dualism Hak Tanggungan yang menggunakan ketentuan hipotek dan lainnya Hak Tanggungan yang menggunakan ketentuan credietverband, sehingga terciptalah unifikasi hukum lembaga Hak Jaminan atas hak atas tanah, sesuai dengan tujuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berkeinginan menciptakan unifikasi hukum pertanahan (tanah) nasional.

5.     Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Pada tanggal 30 september 1999, pemerintah telah mensahkan dan sekaligus mengundang suatu Undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia, yakni dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia.
Dari konsiderans menimbang undang-undang 42 Tahun 1999 tersebut, kita dapat mengetahui falsafah yang melatarbelakangi kelahirannya yang berisikan konstatering fakta-fakta secara singkat serta alas an-alasan dan pertimbangan-pertimbangan perlunya membentuk undang-undang tentang jaminan fidusia. Setidaknya memuat tiga pertimbangan, yaitu:
1)     Bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang “jelas” dan “lengkap” yang mengatur mengenai fidusia;
2)     Bahwa jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan pada “yurisprudensi” dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara ”lengkap” dan “komprehensif”.
3)     Bahwa untuk ”memenuhi kebutuhan hukum” yang dapat melebihimemacu pembangunan nasional dan untuk “menjamin kepastian hukum” serta mampu “memberikan perlindungan hukum” bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan yang “lengkap” mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut “perlu didaftarkan” pada kantor pendaftaran fidusia.
Dengan demikian, kelahiran Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dalam penggunaan fidusia dan menampung kebutuhan hukum bagi dunia usaha terhadap pendanaan pembangunan ekonomi yang sebagian besar diperolehnya melalui kegiatan pinjam meminjam atau kredit.

a.     Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 telah diadakan ketentuan “penghubung” antara peraturan yang memuat pengaturan lembaga hak jaminan atas hak atas tanah dengan ketentuan dalam pasal-pasal undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Sehubungan dengan itu, ketentuan dalam pasal 27 undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan:
Ketentuan undang-undang ini berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Adapun penjelasan atas pasal 27 undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan:
Dengan ketentuan ini Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang didirikan atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara.

b.     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
Dalam perspektif Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 memberikan kemungkinan pembebanan pemilikan rumah dijadikan sebagai jaminan utang secara terpisah dengan hak atas tanahnya. Hal ini ditentukan dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 yang bunyinya:
(1)   Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
(2)   a. pembebanan fidusia atas rumah dilakukan dengan akta autentik yang dibuat oleh notaries sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki pihak yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.     Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
Dalam rangkaian kelahiran Undang-Undang Penerbangan Nasional, pemerintah juga telah merakit suatu ketentuan untuk memberikan kemungkinan dibebaninya sebuah pesawat udara dengan hak jaminan, seperti tampak pada pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Moch. Isnaeni, 1996: 93).
Ketentuan dalam pasal undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 memberikan kemungkinan pembebanan pesawat udara dijadikan sebagai jaminan utang dengan menggunakan hipotek. Pasal undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 menyatakan:
(1) Pesawat terbang dan helicopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek.
(2) Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helicopter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didaftarkan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

d.     Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
Demikian pula untuk meneguhkan eksistensi dan posisi kipotek atas kapal laut sebagaiman diatur dalam KUH Dagang, maka ketentuan dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran menegaskan, bahwa pembebanan atas kapal dijadikan sebagai jaminan utang dilakukan dengan hipotek.
Ketentuan dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 meyatakan:
(1)   Kapal yang terdaftar dapat dibebani hipotek.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

C.    TEMPAT DAN SISTEM PENGATURAN HUKUM JAMINAN
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa tempat pengaturan hukum jaminan tidak hanya terdapat dalam KUH Perdata, yaitu Buku II KUH Perdata, melainkan juga terdapat di luar KUH Perdata, sehingga tempat pengaturan hukum jaminan berada didalam dan diluar KUH Perdata, termasuk dalam KUH Dagang. Dengan demikian sumber pengaturan hukum jaminan terdapar dalam KUH Perdata dan beberapa peraturan perundang-undangan diluar KUH Perdata, disamping yang mengacu kepada ketentuan dalam hukum adat.
Buku II KUH Perdata mengatur jaminan kebendaan, yang meliputi piutang-piutang yang diistimewakan (Bab XIX), tentang gadai (Bab XX), dan tentang Hipotek (Bab XXI). Adapun Buku III KUH Perdata mengatur mengenai jaminan perseorangan, yaitu penanggungan utang (borgtoch) (Bab XVII). Diluar KUH Perdata, pengaturan hukum jaminan antara lain dapat dijumpai dalam:
1.     KUH Dagang
2.     Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
3.     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
4.     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
5.     Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
6.     Undang-Undang Nomor  17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
7.     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
8.     Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang kaminan fidusia

Dengan demikian sesungguhnya secara parsial undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 dan undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 telah mendahului mengatur secara nasional sebagian tentang hukum jaminan, yang dalam hal ini terbatas mengatur mengenai jaminan kebendaan Hak Tanggungan dan Findusia.
Pada prinsipnya kelahiran undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 dan undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 telah menimbulkan pembaruan hukum yang sekaligus memperbarui secara ulang perangkat hukum yang mengalami pembaruan tersebut.

D.    HUKUM KEBENDAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA (KUH PERDATA)
Hukum kebendaan berkaitan erat dengan hukum keperdataan, hal ini disebabkan oleh hukum benda salah satu bidang hukum dari Hukum Perdata (Frieda Husni Hasbullah, 2002:7).
Ditilik dari sistem perdata, hukum kebendaan merupakan salah satu subsistem dari hukum harta kekayaan, yaitu segala ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan objek dari hak milik. Dengan kata lain hukum kebendaan adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai kebendaan.
Sistematika pembidangan hukum perdata (materiil) dapat ditilik menurut ilmu pengetahuan hukum (doktrin) dan dapat ditilik menurut KUH Perdata. Berbeda dengan sistematika KUH Perdata, maka pembidangan hukum perdata (materiil) menurut ilmu pengetahuan hukum meliputi 4 (empat) bidang, yaitu sebagai berikut.
1.    Hukum perorangan (personenrecht)
Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai pribadi alamiah (manusia) sebagai subjek hukum dalam hukum atau mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kecakapan seseorang dalam hukum, hak (kewajiban) subjektif seseorang serta hal-hal yang mempunyai pengaruh terhadap kedudukan seseorang sebagai subjek hukum, seperti jenis kelamin, status menikah, umur, domisili, status di bawah pengampuan, atau pendewasaan serta mengatur mengenai register pencatatan sipil.
2.    Hukum kekeluargaan (familierecht)
Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antarpribadi alamiah yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, hubungan antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian, atau periparan.
3.    Hukum harta kekayaan (vermogensrecht)
Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum seseorang dengan harta kekayaan yang dikuasainya, yang melahirkan hak atas kekayaan yang bersifat absolut (diatur dalam hukum kebendaan, termasuk hukum jaminan) dan melahirkan hak atas kekayaan yang bersifat relatif (diatur dalam hukum perikatan).
4.    Hukum kewarisan (erfrecht)
Adalah ketentuan hukum yang mengatur mengenai peralihan (pemindahan) hak kepemilikan harta kekayaan seseorang setelah yang bersangkutan meninggal dunia (pewaris), menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagiannya masing-masing.

Sementara itu, KUH Perdata membagi bidang hukum perdata tersebut atas 4 bidang pula, yang dituangkan dalam 4 buku, yaitu:
1.    Buku I tentang Orang (van personen);
2.    Buku II tentang Kebendaan (van zaken);
3.    Buku III tentang Perikatan (van verbintenissen);
4.    Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa (van bewijs en verjaring).

Sistematika di atas sebenarnya terpengaruh oleh sistematika Corpus Iuris Civilis dari Institutiones Justinianus, Kaisar Romawi yang memerintah pada abad VI Masehi atau tahun 524-565 Masehi yang merupakan kodifikasi hukum perdata Romawi. Kodifikasi Justianus terbagi dalam empat bagian, yaitu:
1.     Institutions
Dalam bagian ini berisikan antara lain tentang pengertian-pengertian, lembaga-lembaga hukum, dan lain-lain yang terdapat dalam hukum Romawi.
2.     Pandecta
Berisikan himpunan pendapat dari ahli-ahli hukum Romawi yang terkenal pada masa itu.


3.     Code
Berisikan himpunan perundang-undangan (leges lex) yang dibukukan oleh para ahli hukum atas perintah Kaisar Romawi.
4.     Novelles
Merupakan kumpulan atau himpunan penjelasan atau komentar atas Codex tersebut (Frieda Husni Hasbullah, 2002: 8).

Pada prinsipnya pengaturan hukum kebendaan sebagian besar termuat dalam Buku II KUH Perdata, disamping diatur beberapa peraturan perundang-undangan diluar KUH Perdata, maka kandungan materi yang diatur di dalamnya pada dasarnya meliputi kebendaan dan cara-cara membedakan benda, hak-hak kebendaan dan kewarisan. Adapun secara rinci hal-hal yang diatur dalam Buku II KUH Perdata tersebut sebagai berikut:
a.     Tentang kebendaan dan cara-cara membeda-bedakan benda
b.     Tentang hak-hak kebendaan yang memberikan kenikmatan
c.      Tentang kewarisan
d.     Tetang piutang-piutang yang diistimewakan
e.     Tentang hak-hak kebendaan yang memberikan jaminan

E.     HKUM JAMINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEBENDAAN
Didalam pengembangan Usaha sarana yang mutlak adalah Modal. Jasa Bank berupa kredit telah menjadi urat nadi para pngusaha. Oleh karena itu, perangkat hukum jaminan yang memadai dan dapat mengimbangi perkembangan bidang ekonomi sangat dibutuhkan (Djuhaendah Hasan, 1996: 229).
Pentingnya pengaturan (hukum) lembaga hak jaminan ini dikarenakan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan pada umumnya dan pembangunan dibidang ekonomi pada khususnya. Untuk itu dibutuhkan tersedianya dana pembangunan yang cukup besar, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Dalam kaitan ini sudah semestinya jika pemberi kredit (kreditor) dan penerima kredit (debitur) serta pihak lainnya yang terlibat di dalamnya mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan seimbang melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan memberikan kepastian hukum (Rachmadi Usman, 1999:23).
Oleh karena itu, dirasakan sangat mendesak adanya lembaga jaminan dan hukum jaminan yang modern. Perlu sekali adanya hukum jaminan yang mampu mengatur konstruksi yuridis, yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang akan dibelinya sebagai jaminan. Peraturan-peraturan demikian kiranya harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian bagi lembaga-lembaga pemberi kredit, baik dari dalam maupun luar negeri.
Lembaga jaminan tergolong bidang hukum yang bersifat netral tidak mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan spiritual dan budaya bangsa, sehingga terhadap bidang hukum ini tidak ada keberatannya untuk diatur dengan segera. Hukum jaminan tergolong dalam bidang hukum yang akhir-akhir ini secara popular disebut The Economic Law, Wiertschaftrecht atau Droit Economique, yang mempunyai fungsi menunjang kemajuan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, sehingga bidang hukum demikian pengaturannya dalam undang-undang perlu diprioritaskan (Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980:1).
Dalam perspektif hukum kebendaan, lembaga hak jaminan merupakan hak kebendaan, yaitu hak kebendaan yang memberi jaminan dan dengan sendirinyapengaturannya terdapat di dalam Buku II KUH Perdata. Apabila menilik sistematika KUH Perdata, terkesan hukum jaminan hanya merupakan jaminan kebendaan saja, berhubung pengaturannya terdapat dalam Buku II KUH Perdata. Padahal di samping jaminan kebendaan, dikenal pula jaminan perseorangan (persoonlijke zekerheidsrechten, personal guaranty), yang pengaturannya terdapat di dalam Buku III KUH Perdata.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa terdapat hubungan antara hukum jaminan dengan hukum kebendaan. Pembentukan hukum jaminan nasional dengan sendirinya harus tetap berpegang teguh pada prinsip dan sendi pokok yang diatur dalam kerangka sistem hukum kebendaan nasional.
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa mengenai benda tanah sudah mendapat pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1960, sedangkan benda lainnya bukan tanah pengaturannya bersifat dualistis, yaitu ada yang tunduk kepada KUH Perdata dan ada yang tunduk kepada hukum adat. Dalam pembentukan hukum kebendaan nasional mendatang sudah tentu akan bertitik tolak pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan asas-asas serta sendi pokok yang melandasi hukum kebendaan nasional. Selanjutnya dari sini kita akan dapat merancang suatu (sistem) hukum jaminan nasional, baik itu jaminan kebendaan (maupun jaminan perseorangan).
Menurut hukum adat yang dapat menjadiobjek jaminan itu bisa tanah atau benda bukan tanah dengan lembaganya baik berupa tanggungan, jonggolan bagi tanah, sedangkan bagi benda bukan tanah akan berlaku gaed, borg atau cekalan. Di dalam kehidupan masyarakat adat dikenal istilah ngagade atau gade yang berarti menjaminkan benda, tetapi ini bukan dalam arti jual gade atau adol sende atau gadai tanah, Karena gadai tanah bukan perbuatan menjaminkan tetapi perbuatan jual untuk waktu tertentu. Jual gade merupakan perjanjian asesor terhadap perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian piutang(Iman Sudiyat, 1981 : 28).
Namun adanya perbankanisasi menyebabkan lembaga-lembaga jaminan yang terdapat di dalam dan di luar KUH Perdata yang lebih dikenal masyarakat dan dijadikan sebagai acuan dalam hubungan hukum antara pihak lembaga keuangan bank dan bukan bank dengan calon debiturnya dalam penjaminan kredit atau pinjaman.

                      


F.    KEBENDAAN DAN HAK KEBENDAAN PADA UMUMNYA
1.   Pengertian benda (Zaak) dinyatakan dalam pasal 499 KUH perdata, sebaagi berikut:
Menurut paham undang-undang yang dinamakan dengan kebendaan ialah tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.
    Berdasarkan ketentuan tersebut, pengertian benda meliputi segala sesuatu yang dapat di miliki oleh subjek hukum, baik itu berupa barang (goed) maupun hak (recht), sepanjang objek dari hak milik itu dapat dikuasai oleh subjek hukum artinya istilah benda bersifat abstrak, karena tidak hanya terbatas pada benda yang berwjud saja yang dinamakan dengan barang, melainkan termasuk pula benda yang tidak berwujud atau bertubuh, yang dapat berupa hak. Benda yang demikian ini merupakan pengertian dalam arti luas, yang meliputi benda berwujud dan benda tak berwujud. Adapun dalam arti sempit benda itu hanyalah barang-barang yang berwujud atau bertubuh saja. Dengan demikian presfektif hukum perdata berdasarkan KUH perdata, selain mengenal barang-barang yang berwujud yang merupakan bagian dari harta kekayaan seseorang, yang juga bernialai ekonomi.
2.   Cara Pembedaan Kebendaan
KUH perdata membeda-bedakan benda dalam beberapa cara. Pertama-tama benda dibedakan atas benda tidak bergerak (onroerende zaken) dan benda bergerak (roerende zaken) (pasal 504). Kemudian benda dapat di bedakan pula atas benda yang berwujud atau bertubuh (lichamelike zaken) dan benda yang tidak berwujud (onlichamelike zaken) (pasal 503). Selanmjutnya benda dapat dibedakan atas benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken) dan benda yang dapat digabiskan (overbruikbare zaken) (pasal 505), pembedaan kebendaan demikian ini di atur dalam pasal-pasal 503,504, dan 505 KUH Perdata.
G. HAK KEBENDAAN PADA UMUNYA
1. Hak Perdata
          Untuk memahami hak kebendaan menurut sisitem KUHPdt, lebih dulu dikaji tentang hak perdata. Hak perdata adalah hak seseorang yang diberikan oleh hukum perdata. Hak perdata tersebut ada yang bersifat absolute dan ada yang bersifat relatif. Hak yang bersifat absolute memberikan kekuasaan langsung dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Sedangkan hak yang bersifat relative memberikekuasaan terbatas dan hanya dapat di pertahankan terhadap lawan (pihak dalam hubungan hukum).
          Hak perdata yang bersifat absolute meliputi:
a.    Hak kebendaan (zakelijkrecht), di atur dalam buku II KUHPdt.
b.    Hak Kepribadian (persoonlijkheidscrecht), yang terdiri dari:
(1) Hak atas diri sendiri, misalnya hak atas nama, hak atas kehormatan, hak untuk memiliki, hak untuk kawin.
(2) Hak atas diri orang lain yang timbul dalam hubungan hukum keluaraga antara suami dan istri, antara orang tua dan anak.
Hak perdata yang bersifat relative ialah hak yang timbul karena adanya hubungan hukkum berdasarkan perjanjian atau berdasakan ketentuan undang-undang. Hak perdata yang bersifat relative di sebut”personoonlijkrecht” , umunya diatur dalam buku III KUHPdt.
3.     Hak kebendaan `
Hak yang melekat atas suatu bneda disebut “hak atas bneda”. Hak atas benda lazim di sebut “hak kebendaan “ (zakelijkrecht). Hak kebendan ialah hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Setiap orang harus menghormati hak tersebut. Orang yang berhak adalah bebas menguasai bendanya. Hak kebendaan bersifat absolute (mutlak). Contoh hak kebendaraan ialah hak milik, hak memungut hasil, hak sewa, hak pakai, hak gadai, hak hipotik, hak cipta.
4.    Asas-Asas Hak kebendaan
Dalam hukum benda (buku II KUHPdt) di atur mengenai beberapa asas yangberlaku bagi hak-hak kebendaan. Asas-asas tersebut adalah seperti  diuaraikan berikut ini.
(1) Asas Hukum Pemaksa
(2) Asas dapat dipindahtangankan
(3) Asas individualitas
(4) Asas totalitas
(5) Asas tidak dapat di pisahkan
(6) Asas prioritas
(7) Asas Percampuran
(8) Pengaturan berbeda terhadap benda bergerak dan tak bergerak
(9) Asas Publisitas
(10)      Asas mengenai sifat perjanjian
5.    Cara memperoleh Hak Kebendaan
Ada beberapa macam cara memperoleh hak kebendaan seperti yang di uraikan berikut ini.
(1) Dengan pengakuan
(2) Dengan penemuan
(3) Dengan penyerahan
(4) Dengan cara daluarsa
(5) Dengan pewarisan
(6) Dengan cara penciptaan
(7) Dengan cara ikutan/turunan
6.    Hak Kebendaan Hapus/Lenyap
Hak kebendaan dapat hapus/lenyap karena hal-hal seperti diuraikan berikut ini.
(1) Karena bendanya lenyap
(2) Karena dipindahtangankan
(3) Karena pelepasan hak
(4) Karena daluarsa
(5) Karena pencabutan hak

Istilah dan pengertian jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dariistilah zekerheid atau cautie,yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang di lakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan ataspinjaman atau utang yang di terima debitur terhadap kreditornya.
          Dalam presfektif hukumperbankan,istilah “jaminan” ini di bedakan dengan istilah “agunan”. Di bawah Undang-Undang Nomor 14Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan,tidak di kenal istilah agunan ,  yang ada istilah “jaminan” , yang sementara dalamundang-undang nomor 7 1992 tentang perbankan sebagaimana telah di ubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998,memberikan pengertian yang tidak sama dengan istilah “Jaminan”menurut undang-undang nomor 14 tahun 1967.
          Arti Jaminan menurut undang-undang nomor14Tahun 1967 diberi istilah “agunan” atau tanggungan, sedangkan jamianan” menurut undang-undang nomor 10 Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998,di beri arti lain , yaitu “keyakinan atasitikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiyaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan.
Pembedaan lembaga jaminan
          Mengenai lemabaga jaminan,ketentuan dalam pasal 1131 KUHPerdata mennnyatakan:
          Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,menjadi tangguangan untuk segala perikatan perseorangan.
Kemudian dalam pasal 1132 KUH Perdata dinyatakan:
          Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menguntungkan padanya;pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,kecuali apabila di antara para berpiutang masing-masing,kecuali apabila di  antarapara aberpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
          Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat di ketahui pembedaan (lembaga hak) jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu :
1.    Hak jaminan yangbersifat umum
2.    Hak jaminan yang bersifat khusus
Jaminan   



0 komentar:

Posting Komentar