Pages

Muhamad Masikin's Slidely by Slidely Slideshow

Kamis, 14 November 2013

Metode Studi Kalam

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
          Dalam sejarah islam persoalan yang mengakibatkan perpecahan mula-mula adalah perso’alan politik, memang aneh kedengarannya akan tetapi itulah faktanya. Perso’alan politik itu lambat laun berubah menjadi perso’alan teologi atau persoalan keyakinan dalam memahami suatu di dalam agama seperti hokum kafir, pelaku dosa besar dan ketentuan Allah (Qodo dan Qodar).  Hal ini lah yang kemudian mengakibatkan umat islam sampai saat ini tidak mampu untuk bersatu.
          Ketika berbicara perbedaan maka akan kita akan jumpai di sepanjang kehidupan manusia baik perbedaan dalam politik, ekonomi ataupun yang lainnya. Karena masing-masing manusia memiliki sudut pandang yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
          Perso’alan politik yang begitu pelik antara Muawiyyah dan dengan Ali Bin Abi Thalib mengakibatkan peperangan antar kaum muslimin sehingga benih-benih pperpecahan di tubuh kaum muslimin semakin kuat. Hal ini lah yang kemudian islam memilki golongan-golongan tersendiri. Sungguh hal ini memilukan kaum muslimin akan tetapi sebagai seorang muslim kita bias mengambil ibrah dari semuanya. Bahwa pentingnya ukhuwah islamiyah untuk kemajuan umat islam itu sendiri sehingga da’wah islamiyah berkibar di mana-mana.
          Kelompok – kelompok yang mula-mula kecil perlahan-lahan menjadi kelompok yang besar seiring dengan perkembangan islam itu sendiri sehingga golongan-golongan tersebut tidak lagi hitungan satu ,dua tapi puluhan golongan yang berkembang di umat islam , sehingga mau tidak mau umat islam harus menyadari dan memahami semuanya sehingga kejadian masa lalu jangan sampai terulang kembali tentunya kalau terjadi lagi maka jelas akan merugikan umat islam itu sendiri.
          Namun dalam perkembangan umat islam saat ini kebnyakan mereka menganut pemahaman Asy’ariyah dan Maturidiyah hal ini terlihat keberadaanya di sejumlah Negara di belahan dunia sedangkan aliran-aliran mu’tazilah jarang di temukan dan aliran-aliran yang lainpun demikian.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Kalam
Menurut Syekh Muhammad Abduh (1849-1905),ilmu kalam memiliki nama lain yaitu ilmu Tauhid,[1]yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap bagi-Nya. Sifat-sifat yang jaiz disifatkan kepada-Nya adn tentang sifat-sifatayang sama sekali wajib ditidakadakan dari pada-Nya. Juga membahas tentang rasu-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib pada dirinya, hal-hal yang jaiz dihubungkan (dinisabatkan)pada dari mereka dan hal-hal yang terlarangmenghubungkannya kepada diri mereka.
Ilmu kalam menurut Ibnu Khaldun (1333-1406) yaitu ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman,[2] denagn menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaaan salaf dan ahli sunnah .
Selain itu juga ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagaman dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Dalam ilmu ini juga dijelaskan tentang cara ma’rifat(mengetahui secara dalam) tentang sifat-sifat Allah dan para RasulNya dengan menggunakan dalil yang pasti guna untuk mencapai kebahagiaan hidup abadi. Ilmu ini juga termasuk induk ilmu agamadan paling utama bahkan paling mulia, karena berkaitan dengan zat Allah, zat para RasulNya.[3]
Berdasarkan batasan tersebut terlihat bahwa teologi adalah ilmu yang padan intinya berhubungan denagn masalah ketuhanan. Hal ini tidaklah salah, karena secara harfiayahteologi berasal dari kata teo yang berarti Tuhan dan logi yang berarti ilmu.
Namun dalam perkembangan selanjutnya Ilmu teologi juga berbicara tentang berbagai masalah yang berkaitan denagn keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufr, musyrik, murtad, masalah kehidupan ahirat denngan berbagai kenikmatan atau penderitaannya. Hal-hal yang berkaitan dengan kallamullah orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya, sejalan dengan perkembangan ruang lingkup  pembahasan ilmu ini, maka teologi terkadang dinamai pula ilmu tauhid, ilmu Ushuluddin, ilmu ‘aqaid, dan ilmu ketuhanan. Dinamai ilmu tauhid, karena ilmu ini mengajak orang agar meyakini adn mempercayai hanya pada satu tuhan, yaitu Allah Swt, selanjutnya dinamai Usshuluddin, karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan  yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada tuhan dinamai pula ilmu ‘aqaid, karena denagn ilmu ini seseorang diharapkanagar meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada Allah sebagai Tuhan.
Dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya yang demikian itu, teologi tidak  pasti tidak bisa tidak, pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang pertikularistik, maka dengan mudah kita dapat mengemukakan teologi islam, teologi kristen katolik, teologi kristen protestan, dan begitu seterusnya.
Dari beberapa pendapat diatas dapat diketahui bahwa teologi adalah ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil yang meyakinkan. Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya dapat mengetahhui bagaimana cara-cara untuk memilki keimanan dan bagaiman pula cara menjaga keimanan tersebut agar tidak hilang dan tidak rusak.

B.Sumber- Sumber Ilmu Kalam
Pada dasarnya inti pokok ajaran Al-Qur’an adalah Tauhid. Nabi Muhammad SAW diutus Allah kepada manusia adalah juga untuk mngajarkan ketauhidan tersebut. Maka dari itu, ajaran tauhid yang terdapat didalam Al-Qur’an dipertegas dan diperjelas pleh Rasulallah SAW dalam haditsnya. Dengan demikian maka sumber pokok dari ilmu kalam adalah Al-Qur’an dan hadits.
Penegasan Allah SWT dalam Al-Qur’an yang membahas tentang ketuhanan antara lain :

Artinya :  Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. ( QS. Al-Ikhlas :1-4)

Artinya : “Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang Telah diciptakan-Nya. Maha Suci Allah. dialah Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”(QS. Az-Zumar : 4)

Artinya :  Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 163)

Ÿ
Artinya : Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu[383], dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya[384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya[385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari Ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. cukuplah Allah menjadi Pemelihara. ( QS. An-Nisa : 171)

Artinya : Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. ( QS. Al- Maidah )
 

Artinya : Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. ( QS. Al-Anbiyaa : 22)

Pada dasarnya setiap manusia mempunyai fitrah bahwa kepercayaan terhadap adanya Dzat yang maha Kuasa, yang dalam istilah disebut tuhan
Pada ahli tafsir mengatakan, fitrah artinya ciptaan atau kejadian yang asli, kalau ada manusia kemudian tidak beragama tauhid berarti telah terjadi penyimpangan dari fitrahnya.hal ini disebab kan oleh pengaruh lingkungan tempat ia hidup, pemikiran yang menjauhkan dari agama tauhid dan sebagainya.
Karena naluri beragama tauhid merupakan fitrah maka ketauhidan dalam diri seseorang telah ada sejak dilahirkan, untuk menyalurkan dan memantapkan naluri itu, Allah SWT mangutus nabi dan Rasul yang memberikan bimbingan dan petunjuk kejalan yang benar sehingga manusia terhindar dari kesesatan.

C.Faktor-Faktor Munculnya Ilmu Kalam
A.Hanafi[5] menguraikan bahwa timbulnya ikmu kalam disebabkan oleh dua factor, yaitu fakto dari dalam (internal) dan factor dari luar (eksternal).
Factor internal merupakan fenomena yang terjadi  dikalangan internal umat islam sendiri yang mendorong lahirnya ilmu kalam. Diantara faktor dari dalam adalah, Pertama, Al-Qur’an sendiri disamping ajakan kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal yang berhubungan denan itu, menyinggung pula golongan dan agama-agama yang ada masa Nabi Muhammad SAW. Kedua, ketika kaum muslimin selesai membuka negri-negri baru untuk masuk islam dan berusaha untuk mempertemukan nas-nas agama yang kelihatannya saling bertentangan. Ketiga, faktor politik internal umat Islam yaitu soal Khilafah
Adapun faktor-faktor yang datangnya dari luar islam adalah pertama,banyak antara pemeluk-pemeluk Islam yang mula – mula beragama yahudi,  dan masehi dan memasukan ajaran-ajaran yang mereka anut dulu kedalam Islam. Kedua, golongan Islam yang dulu, terutama golongan mu;tazilah memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam dan mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya kalau mereka itu sendiri tidak mengetahui lawan tersebut. Ketiga, sebagai kelanjutan dari sebab tersebut para mutakalim hendak mengimbangi lawan-lawannya dengan menggunakan filsafat. Terpaksa mereka mempelajari logika dan filsafat.
Berbeda dengan A.Hanafi, Harun Nasution[6] menyebutkan bahwa munculnya permasalahan-permasalahan kalam di picu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin ‘Affan yang berbutut pada penolakan Mu;awiyah atas kehilafan Ali Bin Abu Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah atas kehilafan Ali bin Abi thalib mengkristal menjadi perang siffin yang berkhir dengan keputusan tahkim. Sikap Ali yang menerima tipi muslihat Amr ibn ‘Ash walaupun dalam keadaa terpaksa dan tidak disetujui oleh sebagian tentaranya Mereka memandang bahwa persoalan yang terjadi tidak boleh diputuskan dengan tahkim. Mereka memandang Ali telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisan Ali yang di kenal dengan nama Khawarij.
Harun nasution memaparkan bahwa persoalan kalam pertama kali muncul adalah masalah siapa yang kafir dan bukan kafir. Orang – orang khawarij menganggap bahwa orang-orag yang terlibat dalam proses tahkim telah kafir, berawal dari permasalahan itu muncullah aliran baru yaitu Murji’ah dan mu’tazilah.
 Diluar pasukan ada yang membelot dari Ali, dan pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelmpok syi’ah. Persoalan in menimbulkan tiga alian teologi dalam islam, yaitu :
1.    Aliran khawarij yang menegaskan bahwa orang yang meakukan dosa besar diangap kafir, dalam artian keluar dari islam atau murtad dan wajib dibunuh
2.    Aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa vesar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya hal ini terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya
3.    Aliran Mu’tazilah, yang menerima kedua pendapat diatas. Bagi mereka orang-orang yang bedosa besar bukan kafir, tetapi buksn pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah bayn al-manzilatain(posisi diantara dua posisi)
Dalam perkembangan selanjutnya, timbul aliran teologi yang terkenal dengan nama qadaruyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai dalam kehendak dan perbuatannya
D. Bahasan Ilmu Kalam
          Dalam ilmu kalam banyak hal yang menjadi pembahsan seperti masalah ketuhanan, Al-Qur’an, akhirat, Iman, Qodo dan qodar, filsafat, Peranan Akal Terhadap wahyu dan lainnya.
1). Akal  Dan Wahyu
Semua aliran teologi dalam islam, baik Asy’ariyah, Maturidiyah, apalagi mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy’ariyah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu. Dalam hal ini perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat al-Quran dan hadis. Perbedaan dalam interpretasi inilah sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu.
Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya fikir yang ada dalam diri manusia,berusaha keras untuk sampai kepada diri tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap tuhan.
          Terlepas dari perbedaan tersebut perlu kita ketahui bahwa akal memilki peranan penting dalam kehidupan kita sebagaimana di jelaskan di kitab Ihya’ ulumudin bahwa hakikat akal adalah sbb:
a). Yang pertama Adalah untuk membedakan dengan makhluk lainya sehingga manusia mampu untuk belajar, bertafakur, dan lainya.
b). Yang kedua adalah ilmu yang keluar dari anak kecil sehingga akalnya sempurna sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
c). Ilmu-ilmu yang di peroleh dengan pengalaman dan proses kehidupan ( keadaan-keadaan). Sesungguhnya orang yang di didik dengan percobaan-percobaan maka ia salah satu ciri orang yang berakal.
d). Kekuatan naluri itu berakhir sampai mengetahui kesudahan berbagai urusan dan memotong (menahan) syahwat yang segera dan memaksanya.[7]
2). Fungsi Wahyu
Pertanyaan tentang apa perlunya wahyu tentu banyak dihadapkan kepada kaum Mu’tazilah. Sebagaimana dalam teologi mereka wahyu tak mempunyai fungsi apa-apa dalam soal keempat masalah yang menjadi bahan kontroversi dalam teologi Islam.
Bagi kaum Mu’tazilah, tidak semua yang baik dan tidak semua yang buruk dapat diketahui akal.Untuk mengetahui itu, akal memerlukan pertolongan wahyu. Wahyu dengan demikian menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Oleh karena itu, Abd al-Jabbar membagi perbuatan-perbuatan ke dalam manakir aqliah, perbuatan-perbuatan yang dicela oleh akal, seperti bersikap tidak adil dan berdusta, dan manakir Syar’iyah, perbuatan yang dicela oleh syariat atau wahyu, seperti mencuri, berzina dan meminum minuman keras.
Bagi kaum Asy’ariah, karena akal dapat mengetahui hanya adanya tuhan saja,wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajibanya hanya karena turunya wahyu. Wahyu juga mempunyai fungsi yang banyak sekali. Wahyu menentukan boleh dikata segala hal. Sekiranya wahyu tidak ada, manusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya masyarakat akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat manusia dan memang demikian pendapat kaum Asy’ariah. Salah satu fungsi wahyu, kata al-Dawwani, ialah memberikan  tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia.
3). Free will dan predestination
Kaum Mu’tazilah, karena dalam system teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu menganut faham qadariyah atau free will. Dan memang mereka juga disebut kaum qadariyah.
Berbeda dengan aliran Asy’ariah, disini karena manusia dipandang lemah,faham qadariyah tidak terdapat. Kaum Asy’ariyah dalam hal ini lebih dekat kepada faham jabariah dari pada faham Mu’tazilah. Manusia dalam kelemahanya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-Kasb.
4). Sifat-Sifat Tuhan
a). Sifat Tuhan pada umumnya
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan dzat tuhan. Dan selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat  kekal bukanlah satu, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa banyak yang kekal (Ta’dud al-qudama’ atau multiplicity of eternals). Dan ini selanjutnya membawa pula kepada faham syirik atau polytheisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi.
Sebagai telah dilihat dalam bagian pertama, kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negative.
Kaum Asy’ariah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan faham Mu’tazilah diatas. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa tuhan mempunyai sifat. Menuru Al-Asyari sendiri, tidak dapat diingkari bahwa tuhan mempunyai sifat, arena perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan bahwa tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahan, kemauan, dan daya.
Kelihatanya faham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhanlah yang mendorong  kaum Asy;ariah memilih penyelesaian diatas. Sifat mengandung arti tetap dan kekal sedangkan keadaan mengandung arti berubah. Selanjutnya sifat mengadung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung arti lemah. Oleh karena itu mengatakan tuhan tidak memiliki sifat, tetapi hanya mempunyai keadaan, tidaklah egaris dengan konsep kekasaan dan kehendak mutlak tuhan. Untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak, tuhan mesti mempunyai sifat-sifat yang kekal.
b). Anthropomorphisme
Karena Tuhan  bersifat immateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Kaum Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan akal, menganut faham ini. Tuhan, kata abdul al-Jabar, tidak dapat mempunyai badan materi dan oleh karena itu tidak mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat al-quran yang menggambarkan bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi interpretasi lain. Dengan demikian,  kata al-arsy tahtah kerajaan, diberi interpretasi kekuasaan, al-ain, mata diartikan pengetahuan, al-wajh, muka ialah esensi, dan al-yad, tangan adalah kekuasaan.
Kaum asy’riaah juga tidak menerima anthropomorphisme dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Sungguhpun demikian mereka tetap mengatakan bahwa tuhan sebagai disebut dalam al-quran, mempunyai mata, muka, tangan dan sebagainya tetapi tidak sama dengan yang ada pada manusia.
Argument kaum asy’ria dalam hal ini agaknya adalah sebagai berikut. Manusia adalah lemah dan akalnya tak sanggup memberikan interpretasi jauh tentang sifat-sifat jasmani tuhan yang tersebut dalam al-quran sedemikian rupa sehingga meniadakan sifat-sifat  tersebuat.
c). Melihat Tuhan
Logika mengatakan bahwa Tuhan, karena bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala. Dan inilah pendapat kaum Mu’tazilah. Kaum Asy,riah sebaliknya berpendapat bahwa Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti.
d). Sabda Tuhan
Mengenai sabda Tuhan atau Kalam Allah tegasnya al-quran persoalannya dalam teologi ialah : kalau sabda merupakan sifat, sabda mesti kekal, tetapi sebaliknya sabda adalah tersusun dan oleh karena itu mesti diciptakan dan tak bisa kekal.
Kaum Mu’tazilah menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa sabda bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Argumen mereka, al-quran tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat.
Kaum Asy’riaah berpegang keras bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Sabda bagi mereka adalah arti atau makna abstrak yang tidak tersusun. Sabda dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal dan dapat menjadi sifat Tuhan. Dan yang dimaksud dengan al-quran bukanlah apa yang tersusun dari huruf-huruf, kata-kata dan surat-surat , tetapi arti atau makna abstrak itu. Dalam arti inilah al-quran menjadi sabda Tuhan dan bersifat kekal. Argument kaum Asy’ariah diatas ditolak kaum Mu’tazilah, karena menurut mereka keadaan dipisah tidaklah menunjukan perlainan jenis. Dengan demikian keadaan amr dan khalq dipisahkan tidak mengartikan bahwa amr dan khalq adalah sejenis dan oleh karena itu amr atau sabda Tuhan adalah diciptakan dan tidak kekal



5). Konsep Iman
Berbeda dengan paham-paham teologi lainya, konsep iman dengan langsung dipengaruhi oleh teori  mengenai kekuatan akal dan fungsi wahyu. Dalam aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui tuhan, iman tidak bisa mempunyai arti pasif. Iman tidak bisa maempunyai arti tasdiq, Yaitu menerima apa yang dikatakan atau disampaikan orang sebagai benar. Bagi alran-aliran ini iman mesti mempunyai arti aktif, karena manusia akalnya mesti dapat sampai kepada kewajiban mengetahui tuhan.
Oleh karena itu, iman bagi kaum Mu’tazilah iman bukanlah tasdiq.Dan iman dalam arti mengetahui pun belum cukup. Menurut Abd al-Jabbar, orang yang tahu tuhan tetapi melawan kepadanya bukanlah orang mukmin. Dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah, tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui tuhan. Tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah tuhan. Menurut Abu al-Huzail yang dimaksud dengan perintah-perintah tuhan bukanlah hanya yang wajib saja, tetapi juga yang sunat. Sedangkan Al-Juba’I yang dimaksud dengan itu adalah perintah-perintah yang bersifat wajib. Al-Nazzam mempunyai pendapat lain, iman baginya adalah menjauhi dosa-dosa besar. Sungguhpun ada perbedaan paham dalam hal ini, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa iman bukanlah tasdiq, tetapi suatu hal yang lebih tinggi dari itu.
Bagi kaum Asy’ariah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak akan bisa sampai pada kewajiban mengetahui tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau amal. Manusia dapat  mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu.Wahyullah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia, bahwa ia berkewajiban mengetahui tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran berita ini. Oleh karena itu iman bagi kaum Asy’ariah adalah tasdiq, dan batasan iman ebagai diberikan al-Asy’ariah, ialah al-Tasdiq bi Allah, yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya tuhan. Al-Baghdadi menyebut batasan yang lebih panjang. Iman ialah tasdiq tentang adanya tuhan, rasul-rasul dan berita yang mereka bawa, tasdiq tidak sempurna jika tidak disertai oleh pengetahuan. Bagaimanapun iman hanyalah  tasdiq dan pengetahuan tidak timbul kecuali setelah datangnya kabar yang bawa wahyu yang bersangkutan.[8]
E.Kerangka Berpikir Aliran-Aliran Kalam
membahas dan mengkaji aliran-aliran ilmu kalam, pada hakekatnya merupakan upaya memenuhi kerangka berfikir dalam proses pengambilan keputusan. Para ulama aliran kalam (Mutakallimin) dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam, pada dasarnya bepijak pada sumber-sumber ajaran agama terdapat perbedaan dalam metode pemaknaannya.
Potensi yang dimiliki setiap manusia baik secara biologis maupun potensi psikologi secara natural adalah sangat distingtif. Oleh sebab itu perbedaan pendapat didalam masalah objek teologi sebenarnya berkaitan erat dengan cara (metode)berfikir dari para tokoh aliran-aliran kalam tersebut dalam menguraikan objek kajiannya.
Perbedan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu : berfikir rasional dan metode berfikir tradisional. Cara befirkir rasional memiliki prinsip-prinsip berikut ini. Pertama, hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Kedua memberikan kebebasan kepada manusia dala berkehendak . ketiga, memberikan daya yang kecil kepada akal.
Sedangkan berfikir tradisional merupakan cara berfikir yang dilakukan para mutakallimin dengan cara yang sangat terkait sebagai kebalikan dari cara berfikir yang rasional. Harun Nasution menunjukan bahwa teologi tradisional berorientasi pada teolgi kehendak mutlak tuhan atau jabariyah yang lahir dan berkembang di zaman kemunduran umat Islam abad pertengahan.
Cirri-ciri teologi adalah ; 1) kedudukan akal yang rendah ; 2) ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan ; 3) kebebasan berifikir  yang diikat dengan banyak dogma ; 4) ketidakpercayaan kepada sunatullah dan kausalitas ; 5) terikat kepada arti tekstual dari Al-Qur’an dan Hadist  dan 6) statis dalam sikap dan berfikir.
Berdasrkan pemikiran diatas, maka jelaslah bahwa mengetahui pandangan al-asy’ari tentang pelaku dosa besar iti penting. Meski demikian dalm membahas permasalahan kalam para mutakalimin menggunakan dalil naqli maupun aqli.
Dalil naqli adalah dalil yang diambil dari Al-Qur’an dan hadist yang shahih. Contoh dalil naqli misalnya ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dalil naqli dalam ilmu kalam :
t,n=y{ ª!$# ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Èd,ysø9$$Î/ 4 žcÎ) Îû šÏ9ºsŒ ZptƒUy šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÍÍÈ
Artinya : Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mukmin.

F.Perbedaan Metode Ilmu Kalam Dengan Ilmu-ilmu Keislaman Lainnya
Yang akan dibicarakan disini yaitu mengenai perbedaan metode ilmu kalam dengan beberapa ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu Filsafat Islam, Fiqih dan tasawuf.
1.    Filsafat Islam
Filsafat islam telah menarik sekali perhatian kaum muslimin, terutama sesudah ada terjemahan buku-buku Filsafat Yunani kedalam bahasa arab sejenak zaman khalifah Al-mansur (754-775 M) dan mencapai puncaknya pada masa Al Makmun (813-833 M) dari khalifah bani Abassiyah, Ilmu rethorika ilmu tentang cara berdebatatau adabul bahtsi wal munadharah sebagai bagian dari Filsafat Yunanimendapat perhatian tersendiri dari kaum muslimin, sebagai suatu yang menbicarakan tentang tata cara berdebat. Filsafat islam adlah perkembangan dari filsafat yunani yang memiliki ciri khas pemikiran bebas yang tidak terikat oleh agama. Jiwa filsafat Yunani adalah mengamati, memikirkan dan merenungkan segala sesuatu berdasarkan rasio (akal). Hal ini mengundang kontopersi antara para ulama satu dengan ulama lainnya terkait dengan filsafat itu sendiri baik filsafat yunani maupun filsafat islam.
Salah satu ulama yang yang pro terhadap keberadaan filsafat adalah Ibnu kilab beliau adalah tokoh ulama salaf yang pertama kali berusaha dalam pola tertentu untuk  memfilsafatkan ide ketuhanan. [9] dan masih banyak ulama – ulama yang lainnya yang pro filsafat seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Abu Huzail al-Allaf, Abu hasym al-ju ba’i dan lainnya. Namun ada pula ulama yang menentang filsafat seperti Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Tahafut Al-Falsafah (kerancuan para filosof ) ia mejelaskan berbagai hal terkait dengan pernyataan para filosof dan di antara nya filosof materialis, filosof naturalis, dan filosof teis.[10]       
2.    Fiqih
Obyek pembahasan ilmu kalam dengan fiqih  memang berbeda. Ilmu kalam menjelaskan tentang aqidah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang muslim. Sedangkan fiqih adalah membahas tentang hal-hal yang bertautan dengan hukum-hukum perbuatan lahir meliputi ibadah,muamalah perkawinan, pidana, waris.
Sedangkan Ilmu kalam membahas tentang perinsip-perinsip keyakinan islam, sedangkan fiqih membahas tentang furu’iyah yang bertalian dengan amal lahirriah.[11]
3.    Tasawuf
Ilmu kalam itu berlandaskan nas-nashagama, dengan adanya dalil dan fikiran-fikiran dalam membahas aqidah adn ibadah kedalam hati nurani, berusaha membentuk jiwa beragama. Tasawuf lebih banyak menggunakan perasaan (dzauq) dan latihan kejiwaan (riyadlah) dengan jalan memperbanyak amal ibadah.

F.Model-Model Penelitian Ilmu Kalam
Secara garis besar, penelitian ilmu kalam dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu diantaranya :
1.Penelitian yang bersifat dasar dan pemula
model ini bersifat baru pada tahap membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada al qur’an dan hadits serta berbagai pendapat tentang kalam yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi.
2.Penelitian yang bersifat lanjutan
yaitu pengembangan dari penelitian model pertama. Yang sifatnya hanya mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu kalam dengan menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian pertama.

Melalui penelitian model pertama dapat kita jumpai sejumlah referensi yang telah disusun oleh para ulama selaku peneliti pertama yang sifat dan keadaannya telah disebutkan diatas. Dalam kaitan ini kita jumpai beberapa karya hasil penelitian pemula sebagai berukut :
a). Model Abu Manshur Muhammad bin Mahmud Al-Maturidy Al-Samarqandy
Abu Manshur Muhammad bin Mahmud Al-Maturidy Al-Samarqandy telah menulis buku  teologi berjudul Kitab al-tauhid. Buku ini telah di tahkik oleh Fathullah Khalif, magister dalam bidang sastra pada Universitas Iskandariyah dan Doktor filsafat pada Universitas Cambridge.
Telah dikemukaakan berbagai masalah yang detail dan rumit dibidang ilmu kalam. Diantaranya dibahas tentang cacatnya taklid dalam hal beriamn, serta kewajiban mengetahui agama dengan dalil al-sama’ (dalil nakli) dan dalil akli, pembahasan tentang alam.
b). Model al-Imam Abi Al-Hasan Ali-bin Ismail Al-Asy’ari
Beliau wafat pada tahun 330 H telah menulis buku yang berjudul Muqalatal-islamiyyah wa Ikhtilaf al-Musbalin. Bukku ini telah ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid, sebanyak dua juz. Pertama setebal 351 halaman, sedangkan juz ke duanya 279 halaman. Seseorang yang ingin mengetahui secara mendalam tentang teologi Abu Sunnahmau tidak mau harus mempelajari buku ini, dan buku karangan al-Maturiddy sebagaimana disebut diatas. Namun, kita tidak tahu persis apakah buku ini diakji dipesantren atau yang tidak diketahui penulis.
  Sebagaiman halnya Al-Maturridy, Al-Asyary juga dalam bukunya tersebut membahas masalah-masalah yang rumit dan mendetail tentang teologi. Pada juz pertama buku tersebut antara lain dibahas mengenai permulaan  timbulnya masalah perbedaan pendapat dikalangan umat islam yang disebabkan karena dalam perbedaan dalam bidang kepemimpinan (immah dan politik) yang dimulai dari zaman Usman ibn ‘Affan, pembahasan tentang Aliran-aliran induk (ummahat Al-farq)  ang jumlahnya mencapai sepuluh. Yang pertama adalah syi’ah yang jumlahnya mencapai lima belas aliran yaitu : Al-bayyaniyyah, al-jinabiyyah, al-mugbayyirah, al-mansburiyyah, al-khitbahiyyah, al-ma’amriyyah, al-baghbibiziyyah, al-amiriyyaah, al-mufdbillah, al-bululiyyah, al-qailuman ilahiyyatu ‘ali, al-rafdlah, al-sabi’iyyah, al-mufawwidah dan al-imamiyyah ini dibagi lagi menjadi dua puluh empat bagian.
  Selanjutnnya, dalm buku tersebut dibahas pula tentang perbedaan pendapat disekitar penanggung arasy(Bamalatul arsy), kebolehan Allah dalam  menciptakan  alam, tentang al-qur’an, perbuatan hamba, kehendak Allah, kesanggupan manusia, perbuatan manusia dan binatang, kelahiran, kembaliya kematian kedunia sebelum datangnya hari kiamat, masalah immamah (kepemimpinan), masalah kerasualn, masalah keimanan, janji baik dan buruk, siksaan anak kecil, tentang tahkim (arbitarse), hakikat manusia, aliarn khawarij denagn berbagai sektenya, dan masih banyak lagi masalah rumit.
c). Model ‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad
‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad menulis buku berjudul syarhal-Ushhul Al-khomsahbuku tersebut telah ditahkik oleh Doktor Abd al-Karim ‘Usman dan diterbitkan oleh penerbit maktabah wahabtanpa menyebutkan tahunnnya. Bagi seseorang yang ingin mengkaji tentang ajaran-ajaran Mu’tazilah secara mendalam dan mendetail, mau tidak mau harus membaca buku terebut, ini penting dilakukan karena hingga saat ini mayoritas umat islam memandang Mu’tazilah agak kurang propesional bahkan cenderung menghakimi secara sepihak, tanpa memberikan kesempatan kepada Mu’tazilah untuk melakukan pembelaan diri.
Diketahui bahwa ajaran pokok Mu’tazilah ada lima yaitu : Mengesakan Allah, al-adl yaitu paham keadilan tuhan ,al-wa’ad al waid yakni paham janji dan buruk di ahirat,al-manzilah bain al manzilatain serta amar ma’rufnahimunkar. ,Ajaran dasar Mu’tazilah dibahas secara detail
d). Model thahawiyah
Imam Al-thahawiyahtelah menulis buku berjudul Syarh al-kaidah al-thahawiyah yang telah ditahkik oleh sekelompok para ulama dan diperiksa oleh Muhammad Nashr al-Din Al-bayai dan diterbitkan oleh Al-maktab Al-Islamy pada tahun 1984. Buku tersebut telah membahas tentang teologi dikalangan ulama salaf, yaitu ulama yang belum dipengaruhi pemikiran Yunani dan pemikiran lainnya yang berasal dari luar islam, atau bukan dari Al-qur’an dan Al-sunnah. Dalam buku ini telah dibahas tentang kewjiban mengimani apa yang dibawa oleh para rasul, kewajiban mengikuti ajaran para rasul,maka tauhid, tauhhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah , tafsir potongan ayat maitakbazaallah minwalad (Allah tidak mengambil anak), macam-macam tauhid yang dibawa oleh rasul, tafsir potongan ayat Laitsa ka mitsli syaiun(tidak ada yang serupa dengan Allah), mwngwnai wujud yang berada diluar zat, tafsir tentangqudrat dan penjelasan bahwa Allah tidak dapat dilemahkan oleh segala sesuatu,[12]
e). Model Imam Al-haramain Al-Juwainy (478 H)
          Beliau adalah terkenal sebagai gurunya imam Al-Ghazali, dalam riwayatnya beliau pernah menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Syamil fi ushul Ad-dinyang yang tebalnya 729. Di dalam kitab ini di bahas tentang alam dan di dalamnya terdapat argument-argumen kritikan terhadap kelmahan mu’tazilah. Al-Imam Al-Haramain juga menulis kitab berjudul irsyad ila qawathi’ al-Adillah fi ushul al-I’tiqadi li imam Al-haramain al-Juawaini. Kitab tersebut membahas ketentuan berfikir, hakikat ilmu, barunya alam, sifat-sifat bagi Allah, dan lainnya.
f) Model Al-Ghazali (w. 1111 M)
          imam Al-ghazali pernah berguru kepada Imam Al-haramain, b eliau terkenal sebagai Huzatul Islam karena perjuangannya membela islam. Imam Al-Ghazali juga telah menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad. Dalam buku tersebut di bahas tentang pentingnya ilmu untuk memahami  agama, membahas tentang zat Allah, tentang qadimnya alamdan penetapan tentang kenabian Nabi Muhammad SAW.
g). Model Al-Amidy (551 – 631 H)
          Al-Amidy menulis kitab yang berjudul Ghayah al-maram fi ilmu kalam. Kitab yang tebalnya 458 menjelaskan sifat-sifat wajib bagi Allah, sifat-sifat nafsiyah yaitu  sifat iradah, sifat ilmu, sifat qudrat, sifat kalam, dan pembahasan tentang sifat jaiz Allah SWT.
h). Model Al-Syahrastani
          Syaikh Al-Syahrastani telah menulis kitab berjudul Kitab NIhayah al-Iqdam fi ilmi al –kalam kitab ini berjumlah dua jilid, jilid pertama berjumlah 511 halaman dan jilid kedua berjumlah 237 halaman. Dalam kitab tersebut  di bahas aliran teologi. Di antaranya tentang barunya Alam, tauhid, tentang sifat-sifat Azali, hakikat ucapan manusia dan lainya. Dan di kitab ini di sebutkan pula tokoh-tokoh jabariah,khawarij, Murji’ah dan lainya.
i).  Model Al-Bazdawi
          Al-Bazdawi adalah salah satu tokoh Asy’ariyah, menulis kitab berjudul Ushul Al-Din. Di dalamnya membahas perbedaan pendapat anatar para ulama terkait dengan ilmu kalam, definisi ilmu pengetahuan, pembahasan tentang keesan Allah dan pandangan Ahlusunah terhadap Alam.
          Seluruh penelitian di katagorikan sebagai penelitian pemula karena masih bersifat eksploratif di mana para penulis menggali Al-qur’an dan Hadist sebagai sumber utama. Belum adanya penelitian khusus oleh para ahli. Sehingga  masih memakai pendekatan doktriner, atau subtansi ajaran.
2. Peneliatian Lanjutan
          Penelitian lanjutan yaitu penelitian yang di lakukan oleh para peneliti pemula dengan mencoba melakukan deskripsi, analisis, klasifikasi, dan generalisasi.
a). Model Abu Zahrah
          Abu Zahrah mencoba melakukan penelitian terhadap berbagai aliran di  didalam islam sehingga hasil penelitianya menjadi sebuah karya yakni kitab yang berjudul Tarikh al-Mazahib al-islamiyah fi al- siyasah wa al-‘aqaid. Dalam kitab tersebut Abu Zahrah mengangkat tema yakni hal-hal yang menjadi perdebatan antara para golongan.  Dalam kitab tersebut juga di jelaskan bahwa aliran syah terpecah menjadi dua belas kemudian terdvapat pula sekte-sekte yang terdapat di jabariayh dan qodariyah.
b). Model Ali Mushthafa Al-Ghurabi
          seperti halnya Abu Zahrah , Ali Mushthafa Al-Ghurabi  meneliti perkembangan ilmu kalam di masyarakat muslim . hasil penelitian tersebut di abadikan di dalam kitab yang berjudul  Tarikh al-firaq al- islamiyah wa Nasy’atu ilmu al-kalam ‘ind al-muslimin. Dalam kitab tersebut terdapat keterang bagimana perkembangan ilmu kalam dari zaman nabi samapai generasi selanjutnya yakni sahabat, tabiin serta di bahas pula aliran mutazilah serta tokoh-tokonya.
c). Model Abd Al-Lathif Muhammad Al-‘Asyr
          Abd Al-Lathif Muhammad Al-‘Asyr secara khusus meneliti perkembangan serta pokok-pokok pemikiran Ahlusunnah. Yang kemujdian karyanya menjadi sebuah buku yang berjudul Al-ushul  Al-Fikriyah li Mazhab Ahl Asunnah, kitab tersebut memilki halaman 162. Dalam buku tersebut di jelaskan hal-hal yang menyebabkan perbedaan pedapat antara orang muslim, masalah mantiq, falsafah dan hubngan falsafah dengan ilmu-ilmu kemanusiaan.
d). Model Ahmad Mahmud shubhi
          Doktor Ahmad Mahmud shubhi adalah salah satu dosen filsafat isalam di fakultas Adab universitas Iskandariyah. Beliau telah melakukan penelitian terhadap teologi islam sehingga membuahkan sebuah karya yakni fi ilmi kalam dalam dua buku. Dan salah satu pemabahasanya berkenaan dengan aliran Asy’ariyah serta tokoh-tokohnya.
e). Model Ali Sami Al-Nasyr dan Ammar Jam’iy At-Thaliby
          Ali Sami Al- Nasyr dan Ammar Jam’iy At-Thaliby telah melakukan penelitian terhadap akidah ulama-ulama salaf seperti Imam Bukori, Ibnu Khutaibah dan Usman  Al-Darimy.  Dari kalngan ulama Indonesia adalah Abu Bakar Atjeh yang menulis buku Salaf as-Shalih Islam dalam masa murni) sebanyak dua jilid. Dala buku tersebut di jelaskan tentang kelebihan salaf serta keyakinan terhadap hokum  dan aliran-aliran teologi dan fiqih.
f). Model Harun Nasution
          Harun Nasuiton terkenal sebagai tokoh pembaharu islam beliau adalah guru besar filsafat dan teologi islam (ilmu kalam). Salah satu hasil penelitiannya  adalah fi al kalam (teologi Islam). Dala buku tersebut di kemukaan tentang bagaimana perso’alan-perso’alan teolokgi islam kemudian berbagai aliran serta para tokohnya.
          Dapat di simpulkan bahwa penelitian lanjutan memilki criteria  sebagai berikut;
1). Peneliktian oleh para ahli bersifat kepustakaan yakni penelitian  berdasarkan pada data yang tersedia di dalam buku yang menjadi rujukannya.
2). Secara keseluruhan penelitian lanjutan le bih menekankan kepada kesungguhan penelitian dalam mendeskripsikan suatu persoalan.
3). Dari segi pendekatan maka penelitiannya lebih kea rah histori yang mengn kaji masalah teologi.[13]

G. Manfaat Mempelajari Ilmu Kalam (Teologi Islam)
Sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi islam mempunyai manfaat yang sangat banyak, antara lain:
1.    Teologi islam sebagai sebuah disiplin ilmu merupakan salah satu dari tiga fondasi islam yang pemahamannya harus ada di dalam diri seseorang, sehingga ia dapat dianggap sebagai seorang manusia yang beriman. Dinyatakan bahwa definisi iman itu, Pertama, nuthqun bi al-lisan (menyatakan keislaman secara lisan) harus berlandaskan ilmu yang kuat, dan ilmu yang menguatkannya antara lain, yaitu Ilmu kalam ini. Kedua, ‘amalun bi al-arkan (melaksanakan keislaman secara fisikal) harus berlandaskan ilmu yang hak, dan ilmu yang menjelaskannya antara lain yaitu ilmu fiqh. Ketiga, tashdiqun bi alqalbi  ( membenarkan keislaman dengan hatinya) harus berpangkal dari ilmu batin yang benar, dan ilmu yang membeberkannya yaitu ilmu tasawuf.
2.    Aspek-aspek ketuhanan, bahkan merambah mengisi pada berbagai organisasi tertentu, antara lain yang  menyatakan dirinya sebagai aliran kebatinan. Lalu, beberapa tokoh aliran kebatinan telah meyatakan dirinya sebagai nabi, karena katanya tokoh itu telah menerima wangsit dari Tuhan. Dengan segala dampaknya, sampai hari ini hal ini masih saja terjadi
3.     Pada saat yang lain lagi aspek ketuhanan justru sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Karena keyakinan terjadinya takdir atau nasib seseorang dapat menjadikan kehidupannya sangat dinamis atau fatalis. Semua pemikiran itu sangat dipengaruhi oleh belenggu atau tercerahkan pemikirannya orang itu dalam memahami pemikiran teologi di dalam kehidupannya. Ketika seseorang meyakini bahwa semua daya manusia tidak mempunyai peranan sama sekali di dalam kehidupannya, disebabkan karena keyakinan takdir/nasibnya telah ditentukan oleh Tuhannya  sebagaimana dinyatakan oleh para pengikut aliran teologi Jabariyah  karena Tuhan berkuasa secara mutlak, sehingga usaha di dalam kehidupannya dianggapnya sebagai upaya yang sia-sia saja. Berkenaan dengan itu maka ia akan menjadi manusia yang sangat fatalis di dalam kehidupannya. Di dalam hal seperti ini, Tuhan tampak berperan di depan manusia  seperti peribahasa  Tuhan ing ngarso sung tulodo.
4.    Secara historis, teologi islam sebagai sebuah metodologi, merupakan salah satu cara pandang diantara berragam cara pandang di dalam memahami nilai-nilai keagamaan. Ia juga telah digunakan oleh para pakar muslim dalam memahami berbagai fenomena keagamaan maupun sosial, dengan berbagai kekurangannya. Untuk itu, dengan segala konsekwensinya, lalu teologi islam dalam persfektif ini merupakan sebuah disiplin ilmu yang sangat urgen untuk dikaji secara lebih mendalam
5.    Pada akhir-akhir ini, teologi islam sebagai sebuah aksiologi, telah banyak ditulis para pakar. Tulisan itu dengan maksud untuk mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial; baik aspek sosial keperempuanan, seperti teologi gender, atau teologi feminisme; juga aspek sosial kemiskinan dan ketertindasan, seperti  teologi kemiskinan atau teologi transformatifnya, dan selain hal tersebut di depan.[14]
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Ilmu kalam bisa di sebut juga sebagai ilmu tauhid, ilmu ushuludin karena kalau kita kita lihat ilmu kalam membahas tentang ketuhanan dan pokok agama sehingga ilmu kalam salah satu ilmu yang harus di fahami secara benar karena terkait dengan keyakinan kita kepada Allah SWT.
          Semua aliran teologi dalam islam pada hakekatnya sama-sama menggunakan akal dalam menyelesaikan masalah-masalah terkait teologi yang terjadi pada umat islam. Perbedaan yang terjadi antara golongan Mutazilah dan Kaum Asy'ariyah hanya kuat dan tidaknya fungsi dari pada akal, Mutazilah berpendapat bahwa akal memilki peranan penting dan kuat, sedangkan Asy'ariyah berpendapat bahwa fungsi akal itu adalah lemah.
Semua aliran juga berpegang pada wahyu, akan tetapi mereka memiliki perbedaan mengenai interpretasi mengenai teks ayat-ayat  Al-qur'an dan Hadist. Perbedaan inilah yang menyebabkan lahinya golongan – golongan bukan saja dalam ilmu teologi tetapi juga masalah fiqih yang melahirkan banyak Mazhab.
Pada hakekatnya perbedaan – perbedaan tersebut tidaklah keluar dari islam. Dengan demikian umat islam bebas untuk memilih sesuai dengan jiwa dan pendapatnya, seperti halnya umat islam memilih satu mazhab fiqih. Perbedaan merupakan rahmat, sehingga tidaklah perbedaan – perbedaan tersebut menjadi pemecah belah di antara umat islam. 










DAFTAR PUSTAKA
Nasir,sahilun.. pengantar ilmu kalam jakarta : PT raja grafindo persada199.
Mustopa. Mazhab ilmu kalam. Cirebon : Nurjati IAIN-Publisher,2010.
Thahir Abd mu’in, ilmu kalam ,Jakarta : widjaya.1964.
Nsution,Harun, Teologi Islam,UI-Pers,Jakarta.1986,
Madkour,Ibrahim,Drs, Aliran dan teori Filsafat islam, PT Bumi Aksara ,Jakarta,2004.
Al-Ghazali, Ihya’ ulumudin, penerjmah;Zuhri, Mohammad,dkk, CV Asy Sypa,Semarang.2003
Al-Ghazali, Tahafut Al-Falsafah, Penerjemah; Toha, Ahmad,PT Pustaka Panjimas, Jakarta.1986
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, PT Rajagrapindo Persada,Jakarta.2004









[1] Risalatu t-Tauhid, hlm.7.
[2]Muqaddimah Ibnu Khaldun, hlm.468.
[3]Syaikh Muhammad Abduh Risalah Tauhid, (Jakarta Bulan Bintang, 1975), cet. 1, hlm 21
[4] Al-qur’an dan terjemahnya,pustaka Amani, jkarta.
[5] Lihat A.Hanifah, Teologi Islam (Jakarta : Bulan Bintang,1983), 6.
[6] Harun Nasution, Teologi IIslam,: Aliran-Aliran, sejarah, Analisa perbandingan (Jakarta : UI press, 1986), 13.
[7] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumudin. Halm271. Penerjemah Drs. H.Moh Zuhri.dkk
[8] Ibid. hal 147
[9] Wahyudi Asmin,Yudian, Aliran dan Teori filsafat islam halm.40
[10] Terjemah tahafut Al-Falsafah, Ahmad taha hal.xv
[11] Abd. Hamid Hakim, As Sulam, hlm. 8.
[12] Ibid halm 11
[13] Nata,Abudin, MSI,halm.280
[14] Rojak, Abdul,Filsafat Ilmu Klam, Journal.

1 komentar:

msi ventus mengatakan...

Having been a freelance photographer for over six years, I have been fortunate enough to be involved with some very varied and influential clients. They have chosen me to represent their companies image and ideals because my work is always about ensuring a progressive aesthetic to any given campaign, with my results always standing out for the right reasons. View more of my work on my website:

Posting Komentar