Pages

Muhamad Masikin's Slidely by Slidely Slideshow

Kamis, 14 November 2013

Ulumul Hadist

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejarah pembukuan dan penulisan hadits dan ilmu hadits telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang mulai dari Rasullullah saw., kemudian terus kepada sahabat, tabi’in, dan seterusnya hingga saat sekarang hingga mencapai puncaknya pada abad ketiga hijriah
Sebenarnya, setelah para ulama berhasil menyusun kitab-kitab hadits seperti Shahih Al-Bukhari, kajian terhadap periwayatan hadits sudah berakhir, tapi sekarang ini terjadi kecenderungan umat Islam telah melupakan ilmu hadits ini, kebanyakan mereka hanya mengutip hadits-hadits ulama terdahulu tanpa mengetahui apakah hadits tersebut shahih atau dhai’f.
Oleh karena itu penulis berniat membuat makalah yang berjudul “Ulumul Hadits, Sejarah dan Perkembangannya” supaya kita dapat memahami ilmu-ilmu tentang hadits.
B. TUJUAN                                 
Tujuan pemakalah untuk membuat makalah ini adalah agar para pembaca sekalian mengetahui apa pengertian ulumul hadits dari sisi riwayah dan dirayah, dan juga bagaimana sejarah dan perkembangan ulumul hadits dari masa Rasulullah saw. sampai sekarang. Selain itu kita juga bisa mengetahui apa saja dari cabang-cabang dari ulumul hadits
C. RUMUSAN MASALAH             
1. Bagaimana Rasulullah menyebarkan hadist ?
2.Bagaimana metode pengajaran Rasulullah?
3. Bagaimana sistem pembukuan hadist?
BAB II
ANALISIS TEORI
ULUMUL HADITS, SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DAN CABANG -CABANGNYA
A. Pengertian Ulumul Hadits
1. Ulumul Hadits Dalam Konteks Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah adalah “ilmu yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saw., baik perkataan, perbuatan, ketetapan, tabi’at maupun tingkah lakunya.”[1]
Ada juga para ulama yang memberikan pengertian bahwasanya Ilmu Hadits riwayah adalah ilmu yang dalam pembahasannya mencakup perkataan dan perbuatan Nabi saw., baik yang menyangkut masalah periwayatan, pemeliharaan maupun penulisan atau pembukuan lafal-lafalnya.
Objek dari ilmu hadits riwayah adalah bagaimana tata cara menerima dan menyampaikan hadits kepada orang lain, dan bagaimana pula tata cara pemindahan dan pembukuannya, akan tetapi tidak sampai pada permasalahan ada tidaknya kejanggalan dan kecacatan pada matannya.
Oleh sebab itu pembahasannya hanya terbatas pada masalah penyampaian dan pembukuan sesuai dengan apa adanya, baik yang berhubungan dengan matan mauupun rangkaian merantai para perawinya[2].
Faedah mempelajari ilmu ini: adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Perintis pertama ilmu riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhry.[3]

2. Ilmu Hadits Dirayah
       Ilmu Hadits Dirayah adalah “Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang dengannya diketahui perbedaan antara hadits yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah saw., dan hadits yang diragukan penyandaran kepadanya.
Yang termasuk cabang-cabang ilmu hadits dirayah antara lain ilmu rijal al-hadits, ilmu tarikh ar-ruwat, dan ilmu jarh wa ta’dil. Objek pembahasan Ilmu Dirayah, diantaranya:
1. Keadaan para perawi (راوى / رواه), baik yang berkaitan dengan sifat kepribadian (seperti perilaku keseharian, watak dan kualitas daya ingatannya) maupun masalah sambung tidaknya rangkaian mata rantai para perawinya.
2. Keadaan yang diriwayatkan ( مروى ), baik dari sisi keshahihan dan kedha’ifannya maupun dari sisi lain yang berkaitan dengan keadaan matan.
      Dengan demikian, manfaat yang dapat diambil dari mempelajari ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang dapat dijadikan sebagai alat yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengetahui sejauh mana kualitas sebuah hadits.
Selain manfaat diatas, juga ada manfaat yang lain, diantaranya:
1.  Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Rasulullah saw. sampai sekarang,
2.  Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits,
3. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam megklasifikasikan hadits lebih lanjut,
4. Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristinbat.[4]
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul Hadits
1. Hadits Pada Masa Rasullah saw.
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yaitu umat Islam dapat secara langsung memperoleh hadits Rasul saw. sebagai sumber hadits. Antara Rsulullah dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang menghambat dan mempersulit pertemuannya.
Kedudukan nabi menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir nabi sebagai referensi para sahabat dan para sahabat tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang tidak diketahuinya baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Mereka mentaati semuanya bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Ada beberapa cara Rasulullah saw. dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:
1. Melalui para jema’ah pada pusat pembinaannya yang disebut dengan majelis al-‘ ilmi.
2. Dalam banyak kesempatan Rasulullah saw. juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain.
3. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathul makkah.[5]                                                                                            

2. Hadits Pada Masa Sahabat
Periode sahabat berlangsung sekitar tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar dan juga terkenal dengan sebutan “zamanut tastabbuti wal iqlali minarriwayah ( زمن التثبت والاقلال من الرواية )” yaitu masa pengokohan dan penyederhananaan riwayat, sehingga masalah penulisan hadits belum dianggap suatu hal yang mendesak untuk dilaksanakan, hadits masih tetap di hafal dan upaya-upaya penulisan masih dianggap mengkhawatirkan akan mengganggu perhatian mereka terhadap penulisan al-Qur’an lantaran keterbatsan tenaga dan sarana.
Oleh karena itu, Abu Bakar sebagai kalifah pertama mengeluarkan kebijakan tidak mengizinkan sahabat menulis hadits, bahkan beliau memerintahkan untuk membakar 500 hadits yang telah di catatnya.
Selanjutnya, melihat faktor kekhawatiran perhatian para sahabat terhadap program penulisan al-Qur’an terganggu, lalu niat Umar bin Khattab untuk membuat program penulisan hadits di batalkan, apalagi mayoritas Sahabat tidak sepakat dengan usaha tersebut.
Sekalipun demikian penulisan hadits tetap saja di lakukan oleh sahabat, diantaranya adalah Ibnu mas’ud, Ali bin Abi thalib, dan Aisyah, dan yang lainnya. Karakter yang menonjol dari periode ini adalah kuatnya komitmen para sahabat terhadap segala bentuk perintah Allah dengan cara memelihara ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf, sehingga setelah terkumpul barulah mereka menulis hadits.
3. Hadits Pada Masa Tabi’in
Pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya, hanya saja persoalan yang dihadapi agak berbeda, sebab pada masa ini al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf, sedang para riwayat hadits dari kalangan sahabat sudah tersebar diberbagai daerah, apalagi setelah pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah.
Kemudian ketika pemerintahan dipegang oleh ‘Umar bin Abdul ‘Aziz terbentuklah Lembaga Kodifikasi Hadits secara resmi.Yang melatarbelakangi Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz untuk mengumpulkan dan mengkodifikasi hadits pada waktu itu antara lain:
1. Banyak penghafal hadits yang meninggal dunia, baik karena sudah lanjut usia, ataupun gugur sebagai pahlawan perang.
2. al-Qur’an sudah berkembang begitu luas dalam masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi mushaf, karenanya tidak perlu dikhawatirkan lagi hadits bercampur dengan al-Qur’an.
3. Islam telah mulai melebarkan syi’arnya melampaui jazirah Arab, maka hadits sangat diperlukan sebagai penjelas al-Qur’an.
Oleh karena itu, maka masa ini dikenal dengan sebutan masa pembukuan (‘ashr al-tadwin / عصر التدوين ), sehingga pada abad 2 H ini, tersusunlah kitab-kitab koleksi hadits.[6]
Diantara tokoh-tokoh tabi’in yang termashur dalam bidang riwayat antara lain Sa’id, Az-Zuhry, ‘Umar ibn Abdul Aziz dan Yazid ibn Habib.[7]
4. Hadits Pada Abad Ke- 3
Masa ini dikenal dengan sebutan “masa penyaringan pensyarahan hadits”, terutama pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyya, mulai dari khalifah Al-Ma’mum sampai Muqtadir (201-300 H). Pensyarahan dan penyaringan hadits dilakukan karena masa sebelumnya belum berhasil melakukan pemisahan beberapa hadits dha’if dengan hadits shahih, bahkan terkesan hadits maudlu’ bercampur dengan hadits shahih.
Ulama yang pertama kali melakukan penyaringan hadits-hadits shahih adalah Ishak ibn Rahawaih, dan kemudian dilanjutkan oleh Imam Bukhari, dan diteruskan oleh muridnya Imam Muslim. Pada masa ini, umat islam telah berhasil melakukan beberapa hal, diantaranya:
1. Memisahkan hadits nabi dari yang bukan hadits (fatwa sahabat dan tabi’in),
2. mengadakan penyaringan secara ketat terhadap apa saja yang dikatakan hadits nabi dengan melakukan penelitian pada matad dan mata rantai sanadnya.[8]
5. Hadits Pada Abad Ke- 4
Pada masa ini dilakukan sistem penyusunan kitab-kitab koleksi hadits yang lebih mengarah pada upaya pengembangan dalam berbagai variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada secara sistematis, misalnya pola-pola:
1. Menghimpun hadits-hadits yang terdapat pada kitab shahihaini (kitab shahih Bukhari dan shahih Muslim),
2. Mengumpulkan hadits menurut bidangnya, seperti yang memuat hadits-hadits tentang hokum
3. Kolektor menyusun kitab athraf, artinya pengarang hanya menyebutkan permulaan dari tiap-tiap hadits yang dapat menunjukkan kelanjutannya.
6. Hadits Pada Abad Ke- 5 - Sekarang
Setelah umat Islam ditaklukkan oleh Bangsa Barat, penyampaian ajaran Nabi tidak dapat dilakukan secara terang-terangan, akibatnya kegiatan penelitian terhadap para perawi hadits terhenti.
Sekalipun demikian, masih ada ditemukan ulama yang berani berkunjung ke berbagai daerah untuk mendiktekan hadits, dengan cara duduk didalam masjid setiap hari jum’at, lalu menguraikan hadits tentang nilai dan kandungan sanadnya kepada para jama’ah dan jama’ah mencatatnya, seperti yang dilakukan oleh Zainuddin al-‘Iraqi (w. 806 H), Ibnu Hajar (w. 858 H), al-Syakhawi (murid Ibnu Hajar)[9]
C. Cabang – cabang ilmu hadist
1. Ilmu Rijal Al-Hadits ( علم رجال الحديث )
Ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membicarakan seluk-beluk dan sejarah kehidupan para perawi, baik dari generasi sahabat, tabi’in maupun tabi’ tabi’in. Intinya objek kajiannya adalah pada matan dan sanad. Perawi yang menjadi objek kajian ilmu ini adalah
a. Para Sahabat, sebagai penerima pertama dan sebagai kelompok yang dikenal dengan sebutan thabaqat awwalun (generasi pertama)
b. Para Tabi’in, dikenal sebagai thabaqat tsani (generasi kedua)
c. Para Muhadlramin, yaitu orang-orang yang mengalami hidup pada masa jahiliyyah dan masa Nabi saw..
d. Para Muwaliy, yaitu para perawi hadits dan ulama yang pada awalnya berstatus budak.
Ulama yang pertama kali yang menuyusun kitab riwayat ringkas para sahabat adalah Al-Bukhary (256 H), dan dilanjutkan oleh Muhammad Ibnu Saad, dan ada lagi Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam kitabnya yang bernama Al-Istiab.[10]
2. ‘Ilmu Tarikh al-Ruwwat ( علم تاريخ الرواة )
Ilmu Tarikh al-Ruwwat adalah ilmu mengetahui para perawi hadits dari sisi hubungannya dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membahas masalah sejarah perjalanan hidup para perawi. Kitab yang membahas masalah ini adalah
a. التاريخ الكبير, karya al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (194-256 H),
b. تهذيب الكمال, karya Jamaluddin bin Yusuf al-Muzziy (742 H),
c. تهذيب التهذيب, karya Al-Hafidh Syihabuddin Abi al-Fadlal Ahmad bin ‘Ali (Ibn Hajar) al-‘Atsqalaniy (773-852 H),
3. ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil ( علم الجرح والتعديل )
Ilmu al-Jarh wa at-ta’dil adalah “Ilmu yang membahas keadaan para perawi hadits dari sisi diterima dan ditolaknya periwayatan mereka.”
Ilmu jarakh wa ta’dil bisa dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengungkapkan sikap negatif dan positif yang melekat pada perawi hadits.
Diantara ulama yang menyusun kitab ilmu ini antara lain kitab Tabaqat karya Muhammad ibn Saad Az-Zuhri Al-Basari (230 H).[11]
4. ‘Ilmu Asbab al-Wurud (علم ا سبا ب ا لورود)
Asbabu wurud al-hadist ialah sesuatu yang membatasi arti dari suatu hadist, baik yang berkaitan dengan arti umum atau khusus, muqayyadi atau mutallak, di nasakh atau seterusnya.[12]
Menurut istilah, ilmu Asbab Al-Wurud adalah Suatu ilmu yang membahas masalah sebab-sebab nabi saw menyampaikan sabdanya pada saat beliau menuturkannya, sedang tata cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits, hanya bisa diketahui dengan adanya periwayatnya, bukan lainnya.
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara lain:
a. اسباب الحديث , karya Abu Hafs al-‘Akbari, Syaikh al-Qadli Abi Ya’la Muhammad bin al-Hussain al-Fazza’I al-Hanbali (380-458 H)
b. البيان والتعريف فى اسباب ورود الحديث الشريف , karya Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin (Ibnu Hamzah) al-Husainiy al-Dimasyqy (1054-1120 H).[13]
5. ‘Ilmu al-Nasikh wa al-mansukh ( علم النسخ والمنسوخ )
Al-Nasikh Wa Al-Mansukh ialah Ilmu yang membahas problem hadits-hadits yang secara lahiriyah berlawanan, yang dintara keduanya tidak mungkin untuk di pertemukan lantaran adanya materi (yang secara lahiriyah) bertentangan, padahal hakikatnya saling hapus menhapus. Makanya (hukum) yang datangnya terdahulu dikenal dengan sebutan “mansukh dan yang datangnya kemudian dikenal dengan sebutan “nasikh”.
Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain Nasikh al-Hadis wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I'tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukh min al-Asar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H).[14]
6. ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل ا لحد يت)
‘Ilal Al-Hadits ialah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat membuat hadits shahih yang menjadi tercemar, seperti menyatakan hadits muttashi pada hadits yang pada hakikatnya munqathi’, menyatakan hadits marfu’ pada hadits yang pada hakikatnya mauquf atau memasukan hadits kedalam hadits lain dan lain sebagainya.
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara lain Kitab Ilalil Hadits karya ‘Ibnu Abi Hatim (327 H).[15]
7. ‘Ilmu Gharib al-Hadits (علم غر يب ا لحد يث)
Ilmu Gharib al-Hadits ialah ungkapan arti kosa kata matan hadits yang sulit dimengerti dan rumit dipahami lantaran kosakata tersebut memang asing dan tidak dikenal.
Objek pembahasan ilmu ini adalah kata-kata yang sulit atau susunan kalimat yang sulit dipahami maksud yang sebenarnya.
Diantara para ulama yang pertama kali menyusun hadits-hadits yang gharib ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Masnat At-Tarmimi Al-Bisri (w. 210 H) dan salah satu kitab terbaik yang ada saat sekarang ini adalah kitab Nihayah Gharib Al-Hadis karya Ibnu Al-Asir.[16]
8. ‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits ( علم مختلف الحديث )
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits secara lahiriah saling bertentangan, lalu dihilangkan atau keduanya dikompromikan, sebagaiman membahas masalah hadits-hadits yang kandungannya sulit dipahami atau sulit dicari gambaran yang sebenarnya, lalu kesulitan tersebut dihilangkan dan dijelaskan hakikat yang sebenarnya.
Objek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits yang secara lahiriyyah saling bertentangan, sehingga dengan mempergunakan ilmu ini, tingkat kesulitan bisa teratasi.
Adapun ulama yang pertama kali meyusun kitab yang khusus membahas ilmu ini adalah Imam Syafi’i dengan bentuk satu jilid dalam kitabnya al-Um, juz VII yang berjudul “Ikhtilaf al-Hadits” lalu disusul oleh ulama lain, diantaranya kitab Musykil al-atsar karya Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Al-Thahawi (321 H).[17]

9. ‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif ( علم التصحيف والتحريف )
‘Ilmu al-tashhif wa al-tahrif adalah ilmu yang membahas keadaan hadits-hadits yang sudah diubah titik-titik atau syakal (مصحف )nya dan bentuk (محرف)nya.
Adapun kitab yang membahas ilmu ini antara lain kitab Ad Daraquthny (385 H) dan kitab At Tashhif wat tahrif, karangan Abu Ahmad Al Askary (283 H).[18]












BAB III
PEMBAHASAN
A.  Langkah-Langkah Nabi saw dalam menyebarkan Hadits/Sunnah
1. Mendirikan sekolah;
Ketika Rasulullah masih berada di Makkah, beliau menyebarkan sunnahnya dengan mendirikan semacam majlis ta’lim (kelompok dakwah) sebagaimana yang terjadi di rumah al-Arqam (bait al-Arqam) dan sahabat yang lain. Kemudian setelah hijrah ke kota Madinah beliau mendirikan sekolah/madrsah. Berbagai majlis ilmu ini bukan hanya diadakan di masjid tetapi juga di rumah-rumah, termasuk pertemuan husus untuk kaum wanita. Pada majlis-majlis inilah para sahabat menerima hadits Nabi, kemudian para sahabat mempelajari dan mengulanginya serta menghafal.[i] Di samping itu kegiatan sekolah ini pada umumnya juga mengirimkan guru dan katib ke berbagai wilayah di luar kota Madinah. Contohnya sejumlah utusan dikirim ke Adzal dan Qara pada tahun ke 3 H. Ke Bi’ru Ma’unah tahun ke 4 H, ke Najran, Yaman dan Hadramaut tahun ke 9 H.[ii]
2. Memberikan Perintah/Instruksi;
Nabi bersabda, “Sampaikanlah pengetahuan dariku meskipun hanya satu ayat.”[iii] Tekanan yang sama dapat dilihat pada pidato Nabi saw pada saat Hajji wada’: “Yang hadir di sini hendaklah menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir.” [iv] Karena itu merupakan praktik umum di kalangan sahabat Nabi untuk memberitahukan ucapan dan perbuatan Nabi kepada sahabat yang lain yang tidak hadir. Delegasi yang dating ke Kota Madinah diperintahkan untuk mengajarkan kepada kaumnya. Contoh seperti Malik bin Huwairits ditugasi oleh Nabi mengajar pada kaumnya. Tugas ini tetap diemban hingga jauh sesudah Rasul wafat. Tugas yang sama juga diberikan kepada yang lain.[v]
3.  Memberi Motivasi Bagi Pengajar dan Penuntut Ilmu;
Nabi  saw tidak hanya memeritah dalam mendidik masyarakat, tetapi juga menjanjikan penghargaan (pahala) yang  besar bagi subyek pendidikan. Nabi saw bersabda :” Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”[vi]. “Barang siapa menempuh jalan menuju pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”[vii] Bagi mereka yang mengajar, Rasulullah menyampaikan sabdanya;” Barang siapa menunjukkan jalan kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala yang besarnya sama dengan orang yang melakukan perbuatan baik tersebt”. Bahkan Rasul memberikan peringatan kepada orang yang berilmu , tetapi tidak mau mengajarkan kepada yang lain :”Barang siapa menyimpan/menahan ilmu, maka ia akan dicambuk dengan api neraka”.[viii] Sungguhpun demikian Nabi tetap menyerukan supaya penyampaian hadits itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan jujur.  Untuk itu nabi memberikan peringatan:”Barang siapa berdusta atas nama-ku, maka bersiaplah menempati kedukannya/tempat duduknya di Neraka”.


B.  Metode Pengajaran Nabi
Metode yang digunakan Nabi saw untuk mengajarkan hadits/sunnahnya dapat dibagi ke dalam tiga kategori: yaitu metode lisan, metode tulisan dan metode peragaan praktis.
1. Metode Lisan
Nabi saw adalah guru bagi sunnah dan ummatnya. Untuk memudahkan hafalan dan pengertian, beliau biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Sesudah mengajari shahabat, biasanya beliau mendengarkan lagi apa yang sudah mereka pelajari.[ix] Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Nabi saw dalam menyampaikan pesan dengan lisan ini, yaitu : Pertama, Nabi menyampaikan pesannya di hadapan jam’ah. Dalam kesempatan semacaam ini para sahabat banyak yang memanfalkannya secara antusias.  Oleh karena itu farum ini dihadiri secara bergantian, seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab, artinya jika sewaktu-waktu ia tak dapat hadir, maka ia berpesan kepada temannya yang hadir supaya menginformasikan hasilnya kepada Umar. Demikian pula jika Umar yang hadir, sementara kawannya absen, maka Umar berkewajiban menginformasikan hasilnya.[x] Bahkan kepala suku yang jauh mengirimkan utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada anggota suku mereka.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan pesan haditsnya kepada sahabat tertentu, kemudian oleh sahabat tersebut disampaikan kepada yang lain. Hal ini terjadi karena secara tehnis memang mengharuskan demikian. Contohnya seperti ketika Rasulullah menyampaikan petunjuk yang berhubungan dengan hal-hal yang sensitive, seperti mengenai hubungan suami istri, Dalam hal ini disampaikan Nabi kepada istri-istrinya. Contoh lainnya, ketika Rasul dalam suatu perjalanan bersama beberapa orang sahabatnya, maka dalam hal ini yang menerima langsung hanya sedikit, kemudian berita itu diteruskan oleh sahabat yang mendampingi Nabi, kepada sahabat lain yang tidak ikut
2. Metode Tulisan
Seluruh surat Rasulullah kepada raja-raja, penguasa daerah, kepala suku dan gubernur Muslim dapat dikategorikan ke dalam metode tulisan. Beberapa surat terdapat yang isinya sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum ibadah, zakat dan perpajakan, serta lainnya. Jumlah hadits Nabi yang ditulis dalam bentuk surat Nabi ini cukup banyak, apalagi jika digabung dengan tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dan sebagainya.
Memang metode tulis dalam penyampaian hadits ini pernah menjadi perdebatan, khususnya pada masa Nabi dan sahabat. Akan tetapi menurut penelitian Musthafa A’dhami , data sejarah memperkuat metode tulisan juga digunakan oleh Rasulullah.
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu belum memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul (secara husus) sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu. Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda
Artinya:
"Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. "
(HR. Muslim)
Mereka berkata kepada Abdullah bin Amr bin Ash, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda: [xi]
Artinya:
"Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali bin Abi Thalib mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: "Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah dari padaku, selain Abdullah bin Amr bin Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya". Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin, yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis Nabi dengan AI-Quran Sedangkan izin penulisan hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis Nabi dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada larangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Sedangkan izin menulis hadis Nabi diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.[19]
C.  Periode Penyempurnaan Sistematika Pembukuan
Periode ini dimulai pada masa pemerintahan Bani Abbas angakatan ke dua (masa pemerintahan al-Muqtadir). Masa ini disebut juga dengan istilah periode ulama muta’akhirin[xii]. Mulai pada periode ini dinamakan sebagai masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, penggabungan, pensyarahan dan pentahrijan.
a. Kegiatan Para Ulama
          Pada periode ini kaadaan daulat islamiyah sudah mulai melemah, namun kegiatan para ulama hadits dalam melestarikan hadits Nabi tetap tidak terpengaruh, sebab kenyataannya masih sangat banyak para ulama yang menekuni dan mendalami serta bersungguh-sungguh dalam memelihara dan mengembangkan pembinaan hadits, sekalipun caranya berbeda dengan ulama sebelumnya.
        Pada abad III H  hampir seluruh hadits Nabi telah terbukukan. Oleh karena itu kegiatan para ulama abad IV H ini, meskipun masih ada yang melakukan usaha pembukuan (melakukan perlawatan ke daerah dengan tujuan mendapatkan hadits untuk dihimpunan dalam suatu kitab), tetapi kebanyakan  kegiatan mereka ditujukan kepada pemeliharaan hadits dengan berpedoman pada kitab-kitab yang sudah ada, dengan cara  (1) mempelajari (2) menghafal (3) memeriksa dan menyelidiki sanad (4) menyusun kitab-kitab baru dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling berhubungan  serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang sudah ada (5) memberikan syarah dan komentar hadits-hadits yang sudah dihimpun dalam kitab hadits yang  ada.
Di antara kitab-kitab yang tersusun pada abad ini ialah sebagai berikut:
1.    Kitab al-Shahih, karya Ibnu Huzaimah
2.    Al-Anwa’ wa al-Taqsim, susunan Ibnu Hibban
3.    Kitab Musnad, karya Abu Awanah
4.    Al-Muntaqa , susunan Ibnu Jarud
5.    dan lain-lain
b. Ciri-Ciri Sistem Pembukuan Hadits
Ulama hadits pada periode ini di samping menyusun kitab hadits seperti metode yang ditempuh ulama sebelumnya, yaitu dalam bentuk mushannaf dan musnad, juga menyususn kitab hadits dengan sistem baru sebagai berikut:
1. Kitab Athraf; yaitu kitab hadits yang isinya hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan hadits tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan yang bersangkutan., baik dari sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip, maupun dari kitab lain. Misalnya :
a.     Athraf al-Shahihain, karya Ibrahin al-Dimasyqy
b.     Athraf sl-Shahihain, susunan  Abu Muhammad Khallaf Ibnu Muhammad al-Wasithi
c.      Athraf Kutub al-Sittah, susunan Muhammad Ibnu Thahir al-Maqdisi

2.  Kitab Mustakhraj; yaitu kitab hadits yang memuat matan-matan hadits yang diriwayatkan misalnya oleh al-Bukhari dan Muslim, atau salah satunya, kemudian penyusun kitab meriwayatkan matan-matan hadits tersebut dengan menggunakan sanadnya sendiri yang berbeda. Misalnya:
a.     Mustakhraj Shahih al-Bukhari , karya  al-Jurjani
b.         Mustakhraj Shahih Muslim, karya  Abu Awanah
c.         Mustakhraj Bukhari-Muslim, karya Abu Bakar Ibnu Abdan al-Syirazi

3.  Kitab al-Mustadrak; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits yang memiliki syarat , misalnya Bukhari-Muslim, atau memiliki syarat dengan salah satu kitab Bukhari-Muslim. Contohnya : Al-Mustadrak  ‘ala al-Shahihaini, karya Imam al-Hakim
4. Kitab Jami’ ; yaitu kitab hadits yang menghimpun (mengumpulkan )hadits hadits Nabi yang terlah termuat dalam kitab yang telah ada dalam satu kitab tertentu. Contohnya :
a.         Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya Ibnu al-Furat
b.            Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya al-Baghawi
c.             Mashabih al-Sunan, karya al-Baghawi
5. Kitab Berdasar pokok Masalah; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits Nabi berdasar masalah tertentu dari kitab-kitab yang telah ada, contohnya antara lain:
a.           Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majduddin Abd. Salam
b.                 Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baghawi
c.                  Umdat al-Ahkam, karya Abd. Ghoni al-Maqdisi
6. Kitab Syarah ; yaitu kitab hadits yang memuat hadits-hadits dari kitab tertentu yang sudah ada, kemudian dijelaskan dan dikomentari maksudnya, baik dengan menggunakan ayat al-qur’an, atau hadits nabi atau dengan keterangan rasional. Contohnya antara lain:
a.    Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Atsqalani
b.    Al-Minhaj, Syarah Muslim, karya Imam al-Nawawi
c.     Aun al-Ma’bud, syarah Sunan Abi Dawud, karya Syamsul Haq al-Adhim al-Abady
d.    Qutul Mughtadzi, Syarah al-Turmudzi, karya Imam al-Syuyuthi
e.    Syarah Ta’liq, syarah sunan al-Nasa’i, karya Imam al-Syuyuthi
f.     Al-Dibajah, syarah Sunan Ibnu Majah, karya  Kamaluddin al-Damiri.

7.    Kitab Mukhtashar; yaitu kitab hadits yang memuat hadits hadits yang sudah dihimpun dalam kitab yang  sudah ada, dengan cara menyederhanakan / meringkas periwayatan hadits tertentu. Misalnya dengan membuang sanad, Contoh :
a.    Al-Jami’ al-Shaghir, mukhtashar kitab Jam’ul Jawami’, karya Imam al-Syuyuthi
b.      Muhtashar Shahih-Muslim, karya Muhammad Fu’ad Abd. Baqi
8.    Kitab Petunjuk /Kamus Hadits : yaitu kitab yang disusun dengan memuat sebagian kalimat dari sustu hadits Nabi, kemudian menjelaskan letak hadits yang dimaksud di dalam kitab-kitab hadits; mulai dari nama kitab, bab dan sub babnya. Sebagian kitab kamus hadits, ada yang menyebut tempat hadits dengan menunjuk juz dan halaman kitab hadits yang dimaksud. Contohnya antara lain ialah kitab Miftah Kunuz al-Sunnah, karya Prof. Dr. A.J.Winsink. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abd. Baqy. Kitab ini memberikan petunjuk untuk mencari matan hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits (Kitab shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan al-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Darimi,  Muwattha’ Malik, Musnad  Zaid bin Ali, Musnad Abu Dawud al-Thayalisi,  Musnad Ahmad bin Hambal, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Sirat Ibnu Hisyam dan al-Maghazi al-Waqidi)

9.    Kitab Tahrij ; yaitu kitab yang disusun dengan memuat penjelasan tentang tempat-tempat pengambilah hadits yang dimuat dalam kitab tertentu, selkaligus menjelaskan kualitanya. Di antara contohnya :
a.    Kitab Takhrij Ahadits al-Anbiya’, karya Al-Iraqi, merupakan kitab tahrij terhadap hadits-hadits yang ada dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, karya al-Ghazali
b.    hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Tafsir Baidhawi .
10  Kitab Zawa’id ; yaitu kitab hadits yang disusun dengan memuat hadits-hadits yang diriwayatakan oleh ulama hadits tertentu (dan dimuat dalam kitab ulama tersebut, misalnya hadits yang dimuat dalam kitab Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi), tetapi tidak dimuat di dalam kitab hadits yang disusun oleh ulama tertentu pula.Contohnya Seperti kitab Zawaid al-Sunan al-Kubra, karya al-Bushiri. Memuat hadits hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi. Tetapi tidak dimuat dalam al-Kutub al-Sittah.








BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu Hadits Dirayah adalah “Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang dengannya diketahui perbedaan antara hadits yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah saw., dan hadits yang diragukan penyandaran kepadanya.
Ilmu Hadits Riwayah adalah “ilmu yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saw., baik perkataan, perbuatan, ketetapan, tabi’at maupun tingkah lakunya.”
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ulumul hadits terbagi beberapa periode : Hadits Pada Masa Rasullah saw, Hadits Pada Masa Sahabat, Hadits Pada Masa Tabi’in, Hadits Pada Abad Ke- 3, Hadits Pada Abad Ke- 4, Hadits Pada Abad Ke- 5 – Sekarang
Cabang-cabang “ulum al-hadits” antara lain: Ilmu Rijal Al-Hadits ( علم رجال الحديث ), Ilmu Tarikh al-Ruwwat ( علم تاريخ الرواة ), ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil ( علم الجرح والتعديل ), ‘Ilmu Asbab al-Wurud (علم ا سبا ب ا لورود), ‘Ilmu al-Nasikh wa al-mansukh ( علم النسخ والمنسوخ ), ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل ا لحد يت), ‘Ilmu Gharib al-Hadits (علم غر يب ا لحد يث), ‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits ( علم مختلف الحديث ), ‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif ( علم التصحيف والتحريف )






DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M. dan Muzakkir. 1998­. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. 1997. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Mashum Zein, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits, (Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007.
Http://Www.Cybermq.Com/Pustaka/Detail//98/Ulumul-Hadis.
Http://Www.Homeartikel.Co.Cc/2009/12/Pengertian-Dan-Sejarah-Cabang-Cabang.



















[1]Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 42
[2] Mashum Zein, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits, (Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007), hlm. 98
[4] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 28
[5] Ibid., hlm. 71
[6] Ma’shum Zein, Op.cit., hlm. 81            
[7] Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 54
[8] Ibid., hlm. 88                         
[9] Ibid., hlm. 92
[10] M. Ahmad dan M. Muzakkir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1998­), hlm. 58
[11] M. Ahmad dan M. Muzakkir, Op. cit., hlm. 61
[12] Munzier Suparta, Op. cit,, hlm. 38
[13] Ma’shum Zein, Op. cit., hlm. 112
[15] Ash-Shiddieqy, Op. cit., hlm. 140
[16]Mudasir, Op.cit., hlm. 56
[17]Ma’shum Zein, Op. cit., hlm. 125
[19] Nur Sulaiman Prof. Dr. Antologi Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008 )hal. 46-48




CATATAN AHIR PAKET 3



[i]Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, 1991) hal. 83
[ii]Muhammad Musthafa A’dhami, (selanjutnya disingkat M.M.A’dhami) Memahami Ilmu Hadits, (Lentera, 1993), hal 14; Lihat pula pada Muhammad Musthafa A’dzami, Prof. Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994) hal. 80-85
[iii]Kelengkapan hadits ini dmuat dalam kitab Sunan al-Turmudzi, bab al-ilmu ‘an Rasulullah . Demikian pula dalam Shahih al-Bukhari pada bab ahadits al-anbiya’
[iv]Hadits ini secara lebih lengkap dapat dilihat pada Shahih al-Bukhari, bab al-ilmu dan bab al-Haji             
[v]Selanjutnya dapat dilihat pada M.M. A’dhami, Memahami ….. op cit  , hal 15
[vi]Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dalam kitabnya pada bab Muqaddimah
[vii] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari bab al-Ilmi. Demikain pula Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim, bab Ilmu.
[viii]Lihat misalnya pada Sunan Ibnu Majah, bab al-Muqaddimah
[ix]M.M. A’dhami, Memahami Ilmu…..op. cit. hal. 13
[x]Utang Ranuwijaya dan Mundzir Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta:  Grafindo Persada, 1993) ha. 59
[xi]Nur Sulaiman Prof. Dr. Antologi Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008 )hal. 46-48
[xii]Ulama yang hidup sebelum abad IV H dinamakan ulama mtaqaddimin (salaf/klasik). Sedangkan ulama yang hidup pada abad IV H dinamakan ulama muta’akhkhirin (modern)

0 komentar:

Posting Komentar