BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Dalam
sejarah islam persoalan yang mengakibatkan perpecahan mula-mula adalah
perso’alan politik, memang aneh kedengarannya akan tetapi itulah faktanya.
Perso’alan politik itu lambat laun berubah menjadi perso’alan teologi atau
persoalan keyakinan dalam memahami suatu di dalam agama seperti hokum kafir,
pelaku dosa besar dan ketentuan Allah (Qodo dan Qodar). Hal ini lah yang kemudian mengakibatkan umat
islam sampai saat ini tidak mampu untuk bersatu.
Ketika
berbicara perbedaan maka akan kita akan jumpai di sepanjang kehidupan manusia
baik perbedaan dalam politik, ekonomi ataupun yang lainnya. Karena
masing-masing manusia memiliki sudut pandang yang berbeda-beda antara satu
dengan yang lainnya.
Perso’alan
politik yang begitu pelik antara Muawiyyah dan dengan Ali Bin Abi Thalib
mengakibatkan peperangan antar kaum muslimin sehingga benih-benih pperpecahan
di tubuh kaum muslimin semakin kuat. Hal ini lah yang kemudian islam memilki
golongan-golongan tersendiri. Sungguh hal ini memilukan kaum muslimin akan
tetapi sebagai seorang muslim kita bias mengambil ibrah dari semuanya. Bahwa
pentingnya ukhuwah islamiyah untuk kemajuan umat islam itu sendiri sehingga
da’wah islamiyah berkibar di mana-mana.
Kelompok
– kelompok yang mula-mula kecil perlahan-lahan menjadi kelompok yang besar seiring
dengan perkembangan islam itu sendiri sehingga golongan-golongan tersebut tidak
lagi hitungan satu ,dua tapi puluhan golongan yang berkembang di umat islam ,
sehingga mau tidak mau umat islam harus menyadari dan memahami semuanya
sehingga kejadian masa lalu jangan sampai terulang kembali tentunya kalau
terjadi lagi maka jelas akan merugikan umat islam itu sendiri.
Namun
dalam perkembangan umat islam saat ini kebnyakan mereka menganut pemahaman
Asy’ariyah dan Maturidiyah hal ini terlihat keberadaanya di sejumlah Negara di
belahan dunia sedangkan aliran-aliran mu’tazilah jarang di temukan dan
aliran-aliran yang lainpun demikian.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Kalam
Menurut Syekh Muhammad Abduh (1849-1905),ilmu kalam
memiliki nama lain yaitu ilmu Tauhid,[1]yang membahas tentang wujud Allah, tentang
sifat-sifat yang wajib tetap bagi-Nya. Sifat-sifat yang jaiz disifatkan kepada-Nya
adn tentang sifat-sifatayang sama sekali wajib ditidakadakan dari pada-Nya.
Juga membahas tentang rasu-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya,
apa yang wajib pada dirinya, hal-hal yang jaiz dihubungkan (dinisabatkan)pada
dari mereka dan hal-hal yang terlarangmenghubungkannya kepada diri mereka.
Ilmu kalam menurut Ibnu Khaldun (1333-1406) yaitu ilmu yang berisi alasan-alasan
mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman,[2]
denagn menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap
orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaaan salaf dan ahli sunnah .
Selain
itu juga ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan
bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagaman dengan bukti-bukti yang
meyakinkan. Dalam ilmu ini juga dijelaskan tentang cara ma’rifat(mengetahui
secara dalam) tentang sifat-sifat Allah dan para RasulNya dengan menggunakan
dalil yang pasti guna untuk mencapai kebahagiaan hidup abadi. Ilmu ini juga
termasuk induk ilmu agamadan paling utama bahkan paling mulia, karena berkaitan
dengan zat Allah, zat para RasulNya.[3]
Berdasarkan
batasan tersebut terlihat bahwa teologi adalah ilmu yang padan intinya
berhubungan denagn masalah ketuhanan. Hal ini tidaklah salah, karena secara
harfiayahteologi berasal dari kata teo
yang berarti Tuhan dan logi yang
berarti ilmu.
Namun
dalam perkembangan selanjutnya Ilmu teologi juga berbicara tentang berbagai
masalah yang berkaitan denagn keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah
iman, kufr, musyrik, murtad, masalah kehidupan ahirat denngan berbagai
kenikmatan atau penderitaannya. Hal-hal yang berkaitan dengan kallamullah orang-orang
yang tidak beriman dan sebagainya, sejalan dengan perkembangan ruang
lingkup pembahasan ilmu ini, maka
teologi terkadang dinamai pula ilmu tauhid, ilmu Ushuluddin, ilmu ‘aqaid, dan
ilmu ketuhanan. Dinamai ilmu tauhid, karena ilmu ini mengajak orang agar
meyakini adn mempercayai hanya pada satu tuhan, yaitu Allah Swt, selanjutnya
dinamai Usshuluddin, karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada tuhan
dinamai pula ilmu ‘aqaid, karena denagn ilmu ini seseorang diharapkanagar
meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada Allah
sebagai Tuhan.
Dilihat
dari segi ruang
lingkup pembahasannya yang demikian itu, teologi tidak pasti tidak bisa tidak, pasti mengacu kepada
agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang
tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai
pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk
pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang pertikularistik, maka dengan
mudah kita dapat mengemukakan teologi islam, teologi kristen katolik, teologi
kristen protestan, dan begitu seterusnya.
Dari beberapa pendapat diatas dapat diketahui bahwa
teologi adalah ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah ketuhanan serta
berbagai masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil yang meyakinkan.
Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya dapat mengetahhui bagaimana
cara-cara untuk memilki keimanan dan bagaiman pula cara menjaga keimanan
tersebut agar tidak hilang dan tidak rusak.
B.Sumber-
Sumber Ilmu
Kalam
Pada dasarnya inti pokok ajaran Al-Qur’an adalah Tauhid.
Nabi Muhammad SAW diutus Allah kepada manusia adalah juga untuk mngajarkan
ketauhidan tersebut. Maka dari itu, ajaran tauhid yang terdapat didalam
Al-Qur’an dipertegas dan diperjelas pleh Rasulallah SAW dalam haditsnya. Dengan
demikian maka sumber pokok dari ilmu kalam adalah Al-Qur’an dan hadits.
Penegasan Allah SWT dalam Al-Qur’an yang membahas
tentang ketuhanan antara lain :
Artinya : Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha
Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan
Dia. ( QS. Al-Ikhlas :1-4)
Artinya : “Kalau
sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya
di antara ciptaan-ciptaan yang Telah diciptakan-Nya. Maha Suci Allah. dialah
Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”(QS. Az-Zumar : 4)
Artinya : Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa;
tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS.
Al-Baqarah: 163)
Artinya : Wahai
ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu[383], dan janganlah
kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa
putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan)
kalimat-Nya[384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh
dari-Nya[385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan
janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari
Ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa,
Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah
kepunyaan-Nya. cukuplah Allah menjadi Pemelihara. ( QS. An-Nisa : 171)
Artinya : Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari
yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang
Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti
orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. ( QS.
Al- Maidah )
Artinya : Sekiranya ada di
langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak
binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka
sifatkan. ( QS. Al-Anbiyaa : 22)
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai fitrah bahwa
kepercayaan terhadap adanya Dzat yang maha Kuasa, yang dalam istilah disebut
tuhan
Pada ahli tafsir mengatakan, fitrah artinya ciptaan atau
kejadian yang asli, kalau ada manusia kemudian tidak beragama tauhid berarti
telah terjadi penyimpangan dari fitrahnya.hal ini disebab kan oleh pengaruh
lingkungan tempat ia hidup, pemikiran yang menjauhkan dari agama tauhid dan sebagainya.
Karena naluri beragama tauhid merupakan fitrah maka
ketauhidan dalam diri seseorang telah ada sejak dilahirkan, untuk menyalurkan
dan memantapkan naluri itu, Allah SWT mangutus nabi dan Rasul yang memberikan
bimbingan dan petunjuk kejalan yang benar sehingga manusia terhindar dari
kesesatan.
C.Faktor-Faktor
Munculnya Ilmu Kalam
A.Hanafi[5]
menguraikan bahwa timbulnya ikmu kalam disebabkan oleh dua factor, yaitu fakto
dari dalam (internal) dan factor dari luar (eksternal).
Factor internal merupakan fenomena yang terjadi dikalangan internal umat islam sendiri yang
mendorong lahirnya ilmu kalam. Diantara faktor dari dalam adalah, Pertama,
Al-Qur’an sendiri disamping ajakan kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan
hal yang berhubungan denan itu, menyinggung pula golongan dan agama-agama yang
ada masa Nabi Muhammad SAW. Kedua, ketika kaum muslimin selesai membuka
negri-negri baru untuk masuk islam dan berusaha untuk mempertemukan nas-nas
agama yang kelihatannya saling bertentangan. Ketiga, faktor politik internal
umat Islam yaitu soal Khilafah
Adapun faktor-faktor yang datangnya dari luar islam
adalah pertama,banyak antara pemeluk-pemeluk Islam yang mula – mula beragama
yahudi, dan masehi dan memasukan
ajaran-ajaran yang mereka anut dulu kedalam Islam. Kedua, golongan Islam yang
dulu, terutama golongan mu;tazilah memusatkan perhatiannya untuk penyiaran
Islam dan mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya kalau mereka itu
sendiri tidak mengetahui lawan tersebut. Ketiga, sebagai kelanjutan dari sebab tersebut
para mutakalim hendak mengimbangi lawan-lawannya dengan menggunakan filsafat.
Terpaksa mereka mempelajari logika dan filsafat.
Berbeda dengan A.Hanafi, Harun Nasution[6]
menyebutkan bahwa munculnya permasalahan-permasalahan kalam di picu oleh persoalan
politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin ‘Affan yang berbutut
pada penolakan Mu;awiyah atas kehilafan Ali Bin Abu Thalib. Ketegangan antara
Mu’awiyah atas kehilafan Ali bin Abi thalib mengkristal menjadi perang siffin
yang berkhir dengan keputusan tahkim. Sikap Ali yang menerima tipi muslihat Amr
ibn ‘Ash walaupun dalam keadaa terpaksa dan tidak disetujui oleh sebagian
tentaranya Mereka memandang bahwa persoalan yang terjadi tidak boleh diputuskan
dengan tahkim. Mereka memandang Ali telah berbuat salah sehingga mereka
meninggalkan barisan Ali yang di kenal dengan nama Khawarij.
Harun nasution memaparkan bahwa persoalan kalam pertama
kali muncul adalah masalah siapa yang kafir dan bukan kafir. Orang – orang
khawarij menganggap bahwa orang-orag yang terlibat dalam proses tahkim telah
kafir, berawal dari permasalahan itu muncullah aliran baru yaitu Murji’ah dan
mu’tazilah.
Diluar pasukan
ada yang membelot dari Ali, dan pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali.
Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelmpok syi’ah. Persoalan in
menimbulkan tiga alian teologi dalam islam, yaitu :
1. Aliran
khawarij yang menegaskan bahwa orang yang meakukan dosa besar diangap kafir,
dalam artian keluar dari islam atau murtad dan wajib dibunuh
2. Aliran
Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa vesar masih tetap mukmin
dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya hal ini terserah kepada
Allah untuk mengampuni atau menghukumnya
3. Aliran
Mu’tazilah, yang menerima kedua pendapat diatas. Bagi mereka orang-orang yang
bedosa besar bukan kafir, tetapi buksn pula mukmin. Mereka mengambil posisi
antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah
al-manzilah bayn al-manzilatain(posisi diantara dua posisi)
Dalam
perkembangan selanjutnya, timbul aliran teologi yang terkenal dengan nama
qadaruyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai dalam kehendak dan perbuatannya
D. Bahasan Ilmu Kalam
Dalam ilmu
kalam banyak hal yang menjadi pembahsan seperti masalah ketuhanan, Al-Qur’an,
akhirat, Iman, Qodo dan qodar, filsafat, Peranan Akal Terhadap wahyu dan
lainnya.
1).
Akal Dan Wahyu
Semua
aliran teologi dalam islam, baik Asy’ariyah, Maturidiyah, apalagi mu’tazilah
sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi
yang timbul dikalangan umat islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran
itu ialah perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan kepada akal. Kalau
Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy’ariyah
sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah.
Semua
aliran juga berpegang kepada wahyu. Dalam hal ini perbedaan yang terdapat
antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat al-Quran dan hadis. Perbedaan
dalam interpretasi inilah sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang
berlainan itu.
Teologi sebagai ilmu yang membahas
soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan
wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai
daya fikir yang ada dalam diri manusia,berusaha keras untuk sampai kepada diri
tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia
dengan keterangan-keterangan tentang tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia
terhadap tuhan.
Terlepas
dari perbedaan tersebut perlu kita ketahui bahwa akal memilki peranan penting
dalam kehidupan kita sebagaimana di jelaskan di kitab Ihya’ ulumudin bahwa
hakikat akal adalah sbb:
a). Yang pertama Adalah untuk
membedakan dengan makhluk lainya sehingga manusia mampu untuk belajar,
bertafakur, dan lainya.
b). Yang kedua adalah ilmu yang
keluar dari anak kecil sehingga akalnya sempurna sehingga mampu membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk.
c). Ilmu-ilmu yang di peroleh dengan
pengalaman dan proses kehidupan ( keadaan-keadaan). Sesungguhnya orang yang di
didik dengan percobaan-percobaan maka ia salah satu ciri orang yang berakal.
d). Kekuatan naluri itu berakhir
sampai mengetahui kesudahan berbagai urusan dan memotong (menahan) syahwat yang
segera dan memaksanya.[7]
2). Fungsi Wahyu
Pertanyaan
tentang apa perlunya wahyu tentu banyak dihadapkan kepada kaum Mu’tazilah.
Sebagaimana dalam teologi mereka wahyu tak mempunyai fungsi apa-apa dalam soal
keempat masalah yang menjadi bahan
kontroversi dalam teologi Islam.
Bagi kaum Mu’tazilah, tidak semua yang baik dan tidak
semua yang buruk dapat diketahui akal.Untuk mengetahui itu, akal memerlukan
pertolongan wahyu. Wahyu dengan demikian menyempurnakan pengetahuan akal
tentang baik dan buruk. Oleh karena itu, Abd al-Jabbar membagi
perbuatan-perbuatan ke dalam manakir
aqliah, perbuatan-perbuatan yang dicela oleh akal, seperti bersikap tidak
adil dan berdusta, dan manakir Syar’iyah,
perbuatan yang dicela oleh syariat atau wahyu, seperti mencuri, berzina dan
meminum minuman keras.
Bagi kaum Asy’ariah, karena
akal dapat mengetahui hanya adanya tuhan saja,wahyu mempunyai kedudukan
penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajibanya
hanya karena turunya wahyu. Wahyu juga mempunyai fungsi yang banyak sekali.
Wahyu menentukan boleh dikata segala hal. Sekiranya wahyu tidak ada, manusia akan
bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya masyarakat
akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat manusia dan
memang demikian pendapat kaum Asy’ariah. Salah satu fungsi wahyu, kata
al-Dawwani, ialah memberikan tuntunan
kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia.
3).
Free will dan predestination
Kaum Mu’tazilah, karena dalam system teologi mereka
manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu
menganut faham qadariyah atau free will.
Dan memang mereka juga disebut kaum qadariyah.
Berbeda dengan aliran
Asy’ariah, disini karena manusia dipandang lemah,faham qadariyah tidak
terdapat. Kaum Asy’ariyah dalam hal ini lebih dekat kepada faham jabariah dari
pada faham Mu’tazilah. Manusia dalam kelemahanya banyak bergantung kepada
kehendak dan kekuasaan tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia
dengan kemauan dan kekuasaan mutlak tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-Kasb.
4). Sifat-Sifat Tuhan
a). Sifat Tuhan pada umumnya
Pertentangan
paham antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariah dalam masalah ini berkisar
sekitar persoalan apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika tuhan mempunyai
sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan dzat tuhan. Dan
selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tetapi banyak. Tegasnya,
kekalnya sifat-sifat akan membawa banyak yang kekal (Ta’dud al-qudama’ atau multiplicity of eternals). Dan ini
selanjutnya membawa pula kepada faham syirik atau polytheisme. Suatu hal yang tak dapat diterima dalam teologi.
Sebagai
telah dilihat dalam bagian pertama, kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan
persoalan ini dengan mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi
mereka tentang tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat
negative.
Kaum
Asy’ariah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan faham Mu’tazilah diatas.
Mereka dengan tegas mengatakan bahwa tuhan mempunyai sifat. Menuru Al-Asyari
sendiri, tidak dapat diingkari bahwa tuhan mempunyai sifat, arena
perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan bahwa tuhan mengetahui, menghendaki,
berkuasa dan sebagainya juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahan, kemauan,
dan daya.
Kelihatanya
faham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhanlah yang mendorong kaum Asy;ariah memilih penyelesaian diatas.
Sifat mengandung arti tetap dan kekal sedangkan keadaan mengandung arti
berubah. Selanjutnya sifat mengadung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung
arti lemah. Oleh karena itu mengatakan tuhan tidak memiliki sifat, tetapi hanya
mempunyai keadaan, tidaklah egaris dengan konsep kekasaan dan kehendak mutlak
tuhan. Untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak, tuhan mesti
mempunyai sifat-sifat yang kekal.
b). Anthropomorphisme
Karena
Tuhan bersifat immateri, tidaklah dapat
dikatakan bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Kaum Mu’tazilah yang
berpegang pada kekuatan akal, menganut faham ini. Tuhan, kata abdul al-Jabar,
tidak dapat mempunyai badan materi dan oleh karena itu tidak mempunyai
sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat al-quran yang menggambarkan bahwa tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi interpretasi lain. Dengan
demikian, kata al-arsy tahtah kerajaan,
diberi interpretasi kekuasaan, al-ain, mata diartikan pengetahuan, al-wajh,
muka ialah esensi, dan al-yad, tangan adalah kekuasaan.
Kaum
asy’riaah juga tidak menerima anthropomorphisme
dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan
sifat-sifat jasmani manusia. Sungguhpun demikian mereka tetap mengatakan bahwa
tuhan sebagai disebut dalam al-quran, mempunyai mata, muka, tangan dan
sebagainya tetapi tidak sama dengan yang ada pada manusia.
Argument
kaum asy’ria dalam hal ini agaknya adalah sebagai berikut. Manusia adalah lemah
dan akalnya tak sanggup memberikan interpretasi jauh tentang sifat-sifat
jasmani tuhan yang tersebut dalam al-quran sedemikian rupa sehingga meniadakan
sifat-sifat tersebuat.
c). Melihat
Tuhan
Logika mengatakan
bahwa Tuhan, karena bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala.
Dan inilah pendapat kaum Mu’tazilah. Kaum Asy,riah sebaliknya berpendapat bahwa
Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti.
d). Sabda Tuhan
Mengenai
sabda Tuhan atau Kalam Allah tegasnya al-quran persoalannya dalam teologi ialah
: kalau sabda merupakan sifat, sabda mesti kekal, tetapi sebaliknya sabda
adalah tersusun dan oleh karena itu mesti diciptakan dan tak bisa kekal.
Kaum
Mu’tazilah menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa sabda bukanlah
sifat tetapi perbuatan Tuhan. Argumen
mereka, al-quran tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat.
Kaum
Asy’riaah berpegang keras bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan
mestilah kekal. Sabda bagi mereka adalah arti atau makna abstrak yang tidak
tersusun. Sabda dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal dan dapat
menjadi sifat Tuhan. Dan yang dimaksud dengan al-quran bukanlah apa yang
tersusun dari huruf-huruf, kata-kata dan surat-surat , tetapi arti atau makna
abstrak itu. Dalam arti inilah al-quran menjadi sabda Tuhan dan bersifat kekal.
Argument kaum Asy’ariah diatas ditolak kaum Mu’tazilah, karena menurut mereka
keadaan dipisah tidaklah menunjukan perlainan jenis. Dengan demikian keadaan
amr dan khalq dipisahkan tidak mengartikan bahwa amr dan khalq adalah sejenis
dan oleh karena itu amr atau sabda Tuhan adalah diciptakan dan tidak kekal
5). Konsep Iman
Berbeda
dengan paham-paham teologi lainya, konsep iman dengan langsung dipengaruhi oleh
teori mengenai kekuatan akal dan fungsi
wahyu. Dalam aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada
kewajiban mengetahui tuhan, iman tidak bisa mempunyai arti pasif. Iman tidak
bisa maempunyai arti tasdiq, Yaitu
menerima apa yang dikatakan atau disampaikan orang sebagai benar. Bagi
alran-aliran ini iman mesti mempunyai arti aktif, karena manusia akalnya mesti
dapat sampai kepada kewajiban mengetahui tuhan.
Oleh
karena itu, iman bagi kaum Mu’tazilah iman bukanlah tasdiq.Dan iman dalam arti
mengetahui pun belum cukup. Menurut Abd al-Jabbar, orang yang tahu tuhan tetapi
melawan kepadanya bukanlah orang mukmin. Dengan demikian iman bagi mereka
bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah, tetapi amal yang timbul sebagai akibat
dari mengetahui tuhan. Tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan
perintah-perintah tuhan. Menurut Abu al-Huzail yang dimaksud dengan
perintah-perintah tuhan bukanlah hanya yang wajib saja, tetapi juga yang sunat.
Sedangkan Al-Juba’I yang dimaksud dengan itu adalah perintah-perintah yang
bersifat wajib. Al-Nazzam mempunyai pendapat lain, iman baginya adalah menjauhi
dosa-dosa besar. Sungguhpun ada perbedaan paham dalam hal ini, kaum Mu’tazilah sependapat
bahwa iman bukanlah tasdiq, tetapi suatu hal yang lebih tinggi dari itu.
Bagi
kaum Asy’ariah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak akan bisa
sampai pada kewajiban mengetahui tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau
amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban
itu hanya melalui wahyu.Wahyullah yang mengatakan dan menerangkan kepada
manusia, bahwa ia berkewajiban mengetahui tuhan, dan manusia harus menerima
kebenaran berita ini. Oleh karena itu iman bagi kaum Asy’ariah adalah tasdiq,
dan batasan iman ebagai diberikan al-Asy’ariah, ialah al-Tasdiq bi Allah, yaitu
menerima sebagai benar kabar tentang adanya tuhan. Al-Baghdadi menyebut batasan
yang lebih panjang. Iman ialah tasdiq tentang adanya tuhan, rasul-rasul dan
berita yang mereka bawa, tasdiq tidak sempurna jika tidak disertai oleh
pengetahuan. Bagaimanapun iman hanyalah
tasdiq dan pengetahuan tidak timbul kecuali setelah datangnya kabar yang
bawa wahyu yang bersangkutan.[8]
E.Kerangka
Berpikir Aliran-Aliran Kalam
membahas dan mengkaji aliran-aliran ilmu kalam, pada
hakekatnya merupakan upaya memenuhi kerangka berfikir dalam proses pengambilan
keputusan. Para ulama aliran kalam (Mutakallimin) dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan kalam, pada dasarnya bepijak pada sumber-sumber ajaran
agama terdapat perbedaan dalam metode pemaknaannya.
Potensi yang dimiliki setiap manusia baik secara
biologis maupun potensi psikologi secara natural adalah sangat distingtif. Oleh
sebab itu perbedaan pendapat didalam masalah objek teologi sebenarnya berkaitan
erat dengan cara (metode)berfikir dari para tokoh aliran-aliran kalam tersebut
dalam menguraikan objek kajiannya.
Perbedan metode berfikir secara garis besar dapat
dikategorikan menjadi dua macam yaitu : berfikir rasional dan metode berfikir tradisional.
Cara befirkir rasional memiliki prinsip-prinsip berikut ini. Pertama, hanya
terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam Al-Qur’an
dan hadis Nabi. Kedua memberikan kebebasan kepada manusia dala berkehendak .
ketiga, memberikan daya yang kecil kepada akal.
Sedangkan berfikir tradisional merupakan cara berfikir
yang dilakukan para mutakallimin dengan cara yang sangat terkait sebagai
kebalikan dari cara berfikir yang rasional. Harun Nasution menunjukan bahwa
teologi tradisional berorientasi pada teolgi kehendak mutlak tuhan atau
jabariyah yang lahir dan berkembang di zaman kemunduran umat Islam abad
pertengahan.
Cirri-ciri teologi adalah ; 1) kedudukan akal yang
rendah ; 2) ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan ; 3) kebebasan
berifikir yang diikat dengan banyak
dogma ; 4) ketidakpercayaan kepada sunatullah dan kausalitas ; 5) terikat
kepada arti tekstual dari Al-Qur’an dan Hadist
dan 6) statis dalam sikap dan berfikir.
Berdasrkan pemikiran diatas, maka jelaslah bahwa
mengetahui pandangan al-asy’ari tentang pelaku dosa besar iti penting. Meski
demikian dalm membahas permasalahan kalam para mutakalimin menggunakan dalil
naqli maupun aqli.
Dalil naqli adalah dalil yang diambil dari Al-Qur’an dan
hadist yang shahih. Contoh dalil naqli misalnya ayat-ayat al-Qur’an yang
menjadi dalil naqli dalam ilmu kalam :
t,n=y{ ª!$# ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Èd,ysø9$$Î/ 4 cÎ) Îû Ï9ºs ZptUy úüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 ÇÍÍÈ
Artinya
: Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak. Sesungguhnya pada yang demikian
itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mukmin.
F.Perbedaan
Metode Ilmu Kalam Dengan Ilmu-ilmu Keislaman Lainnya
Yang
akan dibicarakan disini yaitu mengenai perbedaan metode ilmu kalam dengan
beberapa ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu Filsafat
Islam, Fiqih dan tasawuf.
1. Filsafat
Islam
Filsafat islam telah menarik sekali perhatian kaum
muslimin, terutama sesudah ada terjemahan buku-buku Filsafat Yunani kedalam
bahasa arab sejenak zaman khalifah Al-mansur (754-775 M) dan mencapai puncaknya
pada masa Al Makmun (813-833 M) dari khalifah bani Abassiyah, Ilmu rethorika
ilmu tentang cara berdebatatau adabul bahtsi wal munadharah sebagai bagian dari
Filsafat Yunanimendapat perhatian tersendiri dari kaum muslimin, sebagai suatu
yang menbicarakan tentang tata cara berdebat. Filsafat islam adlah
perkembangan dari filsafat yunani yang memiliki ciri
khas pemikiran bebas yang tidak terikat oleh agama. Jiwa filsafat Yunani adalah
mengamati, memikirkan dan merenungkan segala sesuatu berdasarkan rasio (akal).
Hal ini mengundang kontopersi antara para ulama satu dengan ulama lainnya
terkait dengan filsafat itu sendiri baik filsafat yunani maupun filsafat islam.
Salah satu
ulama yang yang pro terhadap keberadaan filsafat adalah Ibnu kilab beliau
adalah tokoh ulama salaf yang pertama kali berusaha dalam pola tertentu
untuk memfilsafatkan ide ketuhanan. [9]
dan masih banyak ulama – ulama yang lainnya yang pro filsafat seperti Ibnu
Hazm, Ibnu Taimiyah, Abu Huzail al-Allaf, Abu hasym al-ju ba’i dan lainnya.
Namun ada pula ulama yang menentang filsafat seperti Imam Al-Ghazali dalam
kitabnya yang berjudul Tahafut Al-Falsafah (kerancuan para filosof ) ia
mejelaskan berbagai hal terkait dengan pernyataan para filosof dan di antara
nya filosof materialis, filosof naturalis, dan filosof teis.[10]
2. Fiqih
Obyek
pembahasan ilmu kalam dengan fiqih
memang berbeda. Ilmu kalam menjelaskan tentang aqidah yang seharusnya
dimiliki oleh setiap orang muslim. Sedangkan fiqih adalah membahas tentang
hal-hal yang bertautan dengan hukum-hukum perbuatan lahir meliputi
ibadah,muamalah perkawinan, pidana, waris.
Sedangkan Ilmu kalam
membahas tentang perinsip-perinsip keyakinan islam, sedangkan fiqih membahas
tentang furu’iyah yang bertalian dengan amal lahirriah.[11]
3. Tasawuf
Ilmu
kalam itu berlandaskan nas-nashagama, dengan adanya dalil dan fikiran-fikiran
dalam membahas aqidah adn ibadah kedalam hati nurani, berusaha membentuk jiwa
beragama. Tasawuf lebih banyak menggunakan perasaan (dzauq) dan latihan
kejiwaan (riyadlah) dengan jalan memperbanyak amal ibadah.
F.Model-Model Penelitian Ilmu Kalam
Secara
garis besar, penelitian ilmu kalam dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
diantaranya :
1.Penelitian yang bersifat dasar dan
pemula
model ini bersifat baru pada tahap membangun ilmu kalam
menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada al qur’an dan hadits serta
berbagai pendapat tentang kalam yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi.
2.Penelitian yang bersifat lanjutan
yaitu pengembangan dari penelitian
model pertama. Yang sifatnya hanya mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu
kalam dengan menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian
pertama.
Melalui
penelitian model pertama dapat kita jumpai sejumlah referensi yang telah
disusun oleh para ulama selaku peneliti pertama yang sifat dan keadaannya telah
disebutkan diatas. Dalam kaitan ini kita jumpai beberapa karya hasil penelitian
pemula sebagai berukut :
a). Model Abu Manshur Muhammad bin
Mahmud Al-Maturidy Al-Samarqandy
Abu
Manshur Muhammad bin Mahmud Al-Maturidy Al-Samarqandy telah menulis buku teologi berjudul Kitab al-tauhid. Buku ini telah di tahkik oleh Fathullah Khalif,
magister dalam bidang sastra pada Universitas Iskandariyah dan Doktor filsafat
pada Universitas Cambridge.
Telah
dikemukaakan berbagai masalah yang detail dan rumit dibidang ilmu kalam.
Diantaranya dibahas tentang cacatnya taklid dalam hal beriamn, serta kewajiban mengetahui
agama dengan dalil al-sama’ (dalil nakli) dan dalil akli, pembahasan tentang
alam.
b). Model al-Imam Abi Al-Hasan
Ali-bin Ismail Al-Asy’ari
Beliau
wafat pada tahun 330 H telah menulis
buku yang berjudul Muqalatal-islamiyyah wa Ikhtilaf al-Musbalin. Bukku ini telah ditahkik oleh Muhammad
Muhyiddin ‘Abd al-Hamid, sebanyak dua juz. Pertama setebal 351 halaman,
sedangkan juz ke duanya 279 halaman. Seseorang yang ingin mengetahui secara
mendalam tentang teologi Abu Sunnahmau
tidak mau harus mempelajari buku ini, dan buku karangan al-Maturiddy
sebagaimana disebut diatas. Namun, kita tidak tahu persis apakah buku ini
diakji dipesantren atau yang tidak diketahui penulis.
Sebagaiman halnya Al-Maturridy, Al-Asyary juga
dalam bukunya tersebut membahas masalah-masalah yang rumit dan mendetail
tentang teologi. Pada juz pertama buku tersebut antara lain dibahas mengenai
permulaan timbulnya masalah perbedaan
pendapat dikalangan umat islam yang disebabkan karena dalam perbedaan dalam
bidang kepemimpinan (immah dan
politik) yang dimulai dari zaman Usman ibn ‘Affan, pembahasan tentang
Aliran-aliran induk (ummahat Al-farq) ang jumlahnya mencapai sepuluh. Yang pertama
adalah syi’ah yang jumlahnya mencapai lima belas aliran yaitu : Al-bayyaniyyah, al-jinabiyyah, al-mugbayyirah,
al-mansburiyyah, al-khitbahiyyah, al-ma’amriyyah, al-baghbibiziyyah,
al-amiriyyaah, al-mufdbillah, al-bululiyyah, al-qailuman ilahiyyatu ‘ali,
al-rafdlah, al-sabi’iyyah, al-mufawwidah dan al-imamiyyah ini dibagi lagi
menjadi dua puluh empat bagian.
Selanjutnnya, dalm buku tersebut dibahas pula
tentang perbedaan pendapat disekitar penanggung arasy(Bamalatul arsy),
kebolehan Allah dalam menciptakan alam, tentang al-qur’an, perbuatan hamba,
kehendak Allah, kesanggupan manusia, perbuatan manusia dan binatang, kelahiran,
kembaliya kematian kedunia sebelum datangnya hari kiamat, masalah immamah (kepemimpinan), masalah
kerasualn, masalah keimanan, janji baik dan buruk, siksaan anak kecil, tentang
tahkim (arbitarse), hakikat manusia,
aliarn khawarij denagn berbagai sektenya, dan masih banyak lagi masalah rumit.
c). Model ‘Abd Al-Jabbar bin Ahmad
‘Abd
Al-Jabbar bin Ahmad menulis buku berjudul syarhal-Ushhul
Al-khomsahbuku tersebut telah ditahkik oleh Doktor Abd al-Karim ‘Usman dan
diterbitkan oleh penerbit maktabah wahabtanpa
menyebutkan tahunnnya. Bagi seseorang yang ingin mengkaji tentang ajaran-ajaran
Mu’tazilah secara mendalam dan mendetail, mau tidak mau harus membaca buku
terebut, ini penting dilakukan karena hingga saat ini mayoritas umat islam memandang
Mu’tazilah agak kurang propesional bahkan cenderung menghakimi secara sepihak,
tanpa memberikan kesempatan kepada Mu’tazilah untuk melakukan pembelaan diri.
Diketahui
bahwa ajaran pokok Mu’tazilah ada lima yaitu : Mengesakan Allah, al-adl
yaitu paham keadilan tuhan ,al-wa’ad
al waid yakni paham janji dan buruk di ahirat,al-manzilah bain al manzilatain serta amar
ma’rufnahimunkar. ,Ajaran
dasar Mu’tazilah dibahas secara detail
d). Model thahawiyah
Imam
Al-thahawiyahtelah menulis buku berjudul Syarh
al-kaidah al-thahawiyah yang telah ditahkik oleh sekelompok para ulama dan
diperiksa oleh Muhammad Nashr al-Din Al-bayai dan diterbitkan oleh Al-maktab
Al-Islamy pada tahun 1984. Buku tersebut telah membahas tentang teologi
dikalangan ulama salaf, yaitu ulama yang belum dipengaruhi pemikiran Yunani dan
pemikiran lainnya yang berasal dari luar islam, atau bukan dari Al-qur’an dan
Al-sunnah. Dalam buku ini telah dibahas tentang kewjiban mengimani apa yang
dibawa oleh para rasul, kewajiban mengikuti ajaran para rasul,maka tauhid, tauhhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah ,
tafsir potongan ayat maitakbazaallah
minwalad (Allah tidak mengambil anak), macam-macam tauhid yang dibawa oleh
rasul, tafsir potongan ayat Laitsa ka
mitsli syaiun(tidak ada yang serupa dengan Allah), mwngwnai wujud yang
berada diluar zat, tafsir tentangqudrat dan penjelasan bahwa Allah tidak dapat
dilemahkan oleh segala sesuatu,[12]
e). Model
Imam Al-haramain Al-Juwainy (478 H)
Beliau adalah terkenal sebagai gurunya
imam Al-Ghazali, dalam riwayatnya beliau pernah menulis sebuah kitab yang
berjudul Al-Syamil fi ushul Ad-dinyang yang
tebalnya 729. Di dalam kitab ini di bahas tentang alam dan di dalamnya terdapat
argument-argumen kritikan terhadap kelmahan mu’tazilah. Al-Imam Al-Haramain
juga menulis kitab berjudul irsyad ila qawathi’ al-Adillah fi ushul al-I’tiqadi
li imam Al-haramain al-Juawaini. Kitab tersebut membahas ketentuan berfikir,
hakikat ilmu, barunya alam, sifat-sifat bagi Allah, dan lainnya.
f) Model
Al-Ghazali (w. 1111 M)
imam Al-ghazali pernah berguru kepada
Imam Al-haramain, b eliau terkenal sebagai Huzatul Islam karena perjuangannya
membela islam. Imam Al-Ghazali juga telah menulis sebuah kitab yang berjudul
Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad. Dalam buku tersebut di bahas tentang pentingnya ilmu
untuk memahami agama, membahas tentang
zat Allah, tentang qadimnya alamdan penetapan tentang kenabian Nabi Muhammad
SAW.
g). Model
Al-Amidy (551 – 631 H)
Al-Amidy menulis kitab yang berjudul
Ghayah al-maram fi ilmu kalam. Kitab yang tebalnya 458 menjelaskan sifat-sifat
wajib bagi Allah, sifat-sifat nafsiyah yaitu
sifat iradah, sifat ilmu, sifat qudrat, sifat kalam, dan pembahasan
tentang sifat jaiz Allah SWT.
h). Model
Al-Syahrastani
Syaikh Al-Syahrastani telah menulis
kitab berjudul Kitab NIhayah al-Iqdam fi ilmi al –kalam kitab ini berjumlah dua
jilid, jilid pertama berjumlah 511 halaman dan jilid kedua berjumlah 237
halaman. Dalam kitab tersebut di bahas aliran
teologi. Di antaranya tentang barunya Alam, tauhid, tentang sifat-sifat Azali,
hakikat ucapan manusia dan lainya. Dan di kitab ini di sebutkan pula
tokoh-tokoh jabariah,khawarij, Murji’ah dan lainya.
i). Model Al-Bazdawi
Al-Bazdawi adalah salah satu tokoh
Asy’ariyah, menulis kitab berjudul Ushul
Al-Din. Di dalamnya membahas perbedaan pendapat anatar para ulama terkait
dengan ilmu kalam, definisi ilmu pengetahuan, pembahasan tentang keesan Allah
dan pandangan Ahlusunah terhadap Alam.
Seluruh penelitian di katagorikan
sebagai penelitian pemula karena masih bersifat eksploratif di mana para
penulis menggali Al-qur’an dan Hadist sebagai sumber utama. Belum adanya
penelitian khusus oleh para ahli. Sehingga
masih memakai pendekatan doktriner, atau subtansi ajaran.
2.
Peneliatian Lanjutan
Penelitian lanjutan yaitu penelitian
yang di lakukan oleh para peneliti pemula dengan mencoba melakukan deskripsi,
analisis, klasifikasi, dan generalisasi.
a). Model Abu
Zahrah
Abu Zahrah mencoba melakukan penelitian
terhadap berbagai aliran di didalam
islam sehingga hasil penelitianya menjadi sebuah karya yakni kitab yang
berjudul Tarikh al-Mazahib al-islamiyah
fi al- siyasah wa al-‘aqaid. Dalam kitab tersebut Abu Zahrah mengangkat
tema yakni hal-hal yang menjadi perdebatan antara para golongan. Dalam kitab tersebut juga di jelaskan bahwa
aliran syah terpecah menjadi dua belas kemudian terdvapat pula sekte-sekte yang
terdapat di jabariayh dan qodariyah.
b). Model Ali
Mushthafa Al-Ghurabi
seperti halnya Abu Zahrah , Ali
Mushthafa Al-Ghurabi meneliti
perkembangan ilmu kalam di masyarakat muslim . hasil penelitian tersebut di
abadikan di dalam kitab yang berjudul
Tarikh al-firaq al- islamiyah wa Nasy’atu ilmu al-kalam ‘ind
al-muslimin. Dalam kitab tersebut terdapat keterang bagimana perkembangan ilmu
kalam dari zaman nabi samapai generasi selanjutnya yakni sahabat, tabiin serta
di bahas pula aliran mutazilah serta tokoh-tokonya.
c). Model Abd
Al-Lathif Muhammad Al-‘Asyr
Abd Al-Lathif Muhammad Al-‘Asyr secara
khusus meneliti perkembangan serta pokok-pokok pemikiran Ahlusunnah. Yang
kemujdian karyanya menjadi sebuah buku yang berjudul Al-ushul Al-Fikriyah li Mazhab Ahl Asunnah, kitab
tersebut memilki halaman 162. Dalam buku tersebut di jelaskan hal-hal yang
menyebabkan perbedaan pedapat antara orang muslim, masalah mantiq, falsafah dan
hubngan falsafah dengan ilmu-ilmu kemanusiaan.
d). Model
Ahmad Mahmud shubhi
Doktor Ahmad Mahmud shubhi adalah
salah satu dosen filsafat isalam di fakultas Adab universitas Iskandariyah.
Beliau telah melakukan penelitian terhadap teologi islam sehingga membuahkan
sebuah karya yakni fi ilmi kalam dalam dua buku. Dan salah satu pemabahasanya
berkenaan dengan aliran Asy’ariyah serta tokoh-tokohnya.
e). Model Ali
Sami Al-Nasyr dan Ammar Jam’iy At-Thaliby
Ali Sami Al- Nasyr dan Ammar Jam’iy
At-Thaliby telah melakukan penelitian terhadap akidah ulama-ulama salaf seperti
Imam Bukori, Ibnu Khutaibah dan Usman
Al-Darimy. Dari kalngan ulama
Indonesia adalah Abu Bakar Atjeh yang menulis buku Salaf as-Shalih Islam dalam
masa murni) sebanyak dua jilid. Dala buku tersebut di jelaskan tentang
kelebihan salaf serta keyakinan terhadap hokum
dan aliran-aliran teologi dan fiqih.
f). Model
Harun Nasution
Harun Nasuiton terkenal sebagai tokoh pembaharu
islam beliau adalah guru besar filsafat dan teologi islam (ilmu kalam). Salah
satu hasil penelitiannya adalah fi al
kalam (teologi Islam). Dala buku tersebut di kemukaan tentang bagaimana
perso’alan-perso’alan teolokgi islam kemudian berbagai aliran serta para
tokohnya.
Dapat di simpulkan bahwa penelitian
lanjutan memilki criteria sebagai
berikut;
1).
Peneliktian oleh para ahli bersifat kepustakaan yakni penelitian berdasarkan pada data yang tersedia di dalam
buku yang menjadi rujukannya.
2). Secara
keseluruhan penelitian lanjutan le bih menekankan kepada kesungguhan penelitian
dalam mendeskripsikan suatu persoalan.
3). Dari segi
pendekatan maka penelitiannya lebih kea rah histori yang mengn kaji masalah
teologi.[13]
G. Manfaat Mempelajari Ilmu Kalam (Teologi Islam)
Sebagai sebuah disiplin ilmu, teologi islam mempunyai manfaat yang
sangat banyak, antara lain:
1. Teologi islam sebagai sebuah disiplin ilmu merupakan
salah satu dari tiga fondasi islam yang pemahamannya harus ada di dalam diri
seseorang, sehingga ia dapat dianggap sebagai seorang manusia yang beriman.
Dinyatakan bahwa definisi iman itu, Pertama, nuthqun bi al-lisan (menyatakan
keislaman secara lisan) harus berlandaskan ilmu yang kuat, dan ilmu yang
menguatkannya antara lain, yaitu Ilmu kalam ini. Kedua, ‘amalun bi al-arkan
(melaksanakan keislaman secara fisikal) harus berlandaskan ilmu yang hak, dan
ilmu yang menjelaskannya antara lain yaitu ilmu fiqh. Ketiga, tashdiqun bi
alqalbi ( membenarkan keislaman dengan
hatinya) harus berpangkal dari ilmu batin yang benar, dan ilmu yang
membeberkannya yaitu ilmu tasawuf.
2. Aspek-aspek ketuhanan, bahkan merambah mengisi pada
berbagai organisasi tertentu, antara lain yang
menyatakan dirinya sebagai aliran kebatinan. Lalu, beberapa tokoh aliran
kebatinan telah meyatakan dirinya sebagai nabi, karena katanya tokoh itu telah
menerima wangsit dari Tuhan. Dengan segala dampaknya, sampai hari ini hal ini
masih saja terjadi
3. Pada saat yang lain lagi aspek ketuhanan justru sangat
mempengaruhi kehidupan seseorang. Karena keyakinan terjadinya takdir atau nasib
seseorang dapat menjadikan kehidupannya sangat dinamis atau fatalis. Semua
pemikiran itu sangat dipengaruhi oleh belenggu atau tercerahkan pemikirannya
orang itu dalam memahami pemikiran teologi di dalam kehidupannya. Ketika
seseorang meyakini bahwa semua daya manusia tidak mempunyai peranan sama sekali
di dalam kehidupannya, disebabkan karena keyakinan takdir/nasibnya telah
ditentukan oleh Tuhannya sebagaimana dinyatakan
oleh para pengikut aliran teologi Jabariyah
karena Tuhan berkuasa secara mutlak, sehingga usaha di dalam
kehidupannya dianggapnya sebagai upaya yang sia-sia saja. Berkenaan dengan itu
maka ia akan menjadi manusia yang sangat fatalis di dalam kehidupannya. Di
dalam hal seperti ini, Tuhan tampak berperan di depan manusia seperti peribahasa Tuhan ing ngarso sung tulodo.
4. Secara historis, teologi islam sebagai sebuah
metodologi, merupakan salah satu cara pandang diantara berragam cara pandang di
dalam memahami nilai-nilai keagamaan. Ia juga telah digunakan oleh para pakar
muslim dalam memahami berbagai fenomena keagamaan maupun sosial, dengan
berbagai kekurangannya. Untuk itu, dengan segala konsekwensinya, lalu teologi
islam dalam persfektif ini merupakan sebuah disiplin ilmu yang sangat urgen
untuk dikaji secara lebih mendalam
5. Pada akhir-akhir ini, teologi islam sebagai sebuah
aksiologi, telah banyak ditulis para pakar. Tulisan itu dengan maksud untuk
mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial; baik aspek sosial keperempuanan,
seperti teologi gender, atau teologi feminisme; juga aspek sosial kemiskinan
dan ketertindasan, seperti teologi
kemiskinan atau teologi transformatifnya, dan selain hal tersebut di depan.[14]
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Ilmu kalam bisa di sebut juga sebagai ilmu tauhid, ilmu ushuludin karena
kalau kita kita lihat ilmu kalam membahas tentang ketuhanan dan pokok agama
sehingga ilmu kalam salah satu ilmu yang harus di fahami secara benar karena
terkait dengan keyakinan kita kepada Allah SWT.
Semua
aliran teologi dalam islam pada hakekatnya sama-sama menggunakan akal dalam
menyelesaikan masalah-masalah terkait teologi yang terjadi pada umat islam.
Perbedaan yang terjadi antara golongan Mutazilah dan Kaum Asy'ariyah hanya kuat
dan tidaknya fungsi dari pada akal, Mutazilah berpendapat bahwa akal memilki
peranan penting dan kuat, sedangkan Asy'ariyah berpendapat bahwa fungsi akal
itu adalah lemah.
Semua
aliran juga berpegang pada wahyu, akan tetapi mereka memiliki perbedaan
mengenai interpretasi mengenai teks ayat-ayat
Al-qur'an dan Hadist. Perbedaan inilah yang menyebabkan lahinya golongan
– golongan bukan saja dalam ilmu teologi tetapi juga masalah fiqih yang
melahirkan banyak Mazhab.
Pada
hakekatnya perbedaan – perbedaan tersebut tidaklah keluar dari islam. Dengan
demikian umat islam bebas untuk memilih sesuai dengan jiwa dan pendapatnya,
seperti halnya umat islam memilih satu mazhab fiqih. Perbedaan merupakan
rahmat, sehingga tidaklah perbedaan – perbedaan tersebut menjadi pemecah belah
di antara umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Nasir,sahilun.. pengantar ilmu kalam jakarta : PT raja grafindo
persada199.
Mustopa. Mazhab ilmu kalam. Cirebon : Nurjati IAIN-Publisher,2010.
Thahir Abd mu’in, ilmu kalam ,Jakarta : widjaya.1964.
Nsution,Harun, Teologi Islam,UI-Pers,Jakarta.1986,
Madkour,Ibrahim,Drs,
Aliran dan teori Filsafat islam, PT
Bumi Aksara ,Jakarta,2004.
Al-Ghazali, Ihya’ ulumudin, penerjmah;Zuhri,
Mohammad,dkk, CV Asy Sypa,Semarang.2003
Al-Ghazali,
Tahafut Al-Falsafah, Penerjemah; Toha, Ahmad,PT Pustaka Panjimas, Jakarta.1986
Nata, Abuddin,
Metodologi Studi Islam, PT Rajagrapindo Persada,Jakarta.2004
[1] Risalatu t-Tauhid,
hlm.7.
[2]Muqaddimah Ibnu Khaldun, hlm.468.
[3]Syaikh Muhammad Abduh
Risalah Tauhid, (Jakarta Bulan Bintang, 1975), cet. 1, hlm 21
[5] Lihat A.Hanifah, Teologi Islam (Jakarta
: Bulan Bintang,1983), 6.
[6] Harun Nasution, Teologi IIslam,:
Aliran-Aliran, sejarah, Analisa perbandingan (Jakarta : UI press, 1986),
13.
[11] Abd. Hamid Hakim, As
Sulam, hlm. 8.
1 komentar:
Having been a freelance photographer for over six years, I have been fortunate enough to be involved with some very varied and influential clients. They have chosen me to represent their companies image and ideals because my work is always about ensuring a progressive aesthetic to any given campaign, with my results always standing out for the right reasons. View more of my work on my website:
Posting Komentar