BAB
II
UTANG
PIUTANG ( Dayn )
A.
Pengertian
Utang Piutang
Utang-piutang atau dikenal dengan istilah dayn atau al-qard. Adalah suatu transaksi dimana seseorang meminjam harta
benda kepada orang lain dengan janji akan dikembalikan pada waktu yang telah
ditentukan. Sebagai contoh misalnya A meminjam uang sebesar Rp.100.000 kepada
B, maka A wajib mengembalikan utang tersebut kepada B sebesar Rp.100.000 pada
waktu yang telah ditentukan.
B.
Rukun
dan Syarat Utang Piutang
Seperti halnya jual beli, rukun dayn juga diperselisihkan oleh para fuqahâ. Menurut Hanafiyah, rukun dayn adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur fuqahâ,
rukun daen adalah :
1.
‘âqid, yaitu muqridh dan muqtaridh
Syafi’iyah
memberikan persyaratan untuk muqridh,
antara lain:
a.
Ahliyah
atau kecakapan untuk melakukan tabarru’
b.
Mukhtar
(memiliki pilihan)
Sedangkan
untuk muqtarid disyaratkan harus
memiliki ahliyah atau kecakapan untuk
melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan tidak mahjur ‘alaih.[1]
2. Ma’qud ‘alaih,
yaitu uang atau barang
Menurut jumhur ulama yang terdiri atas
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah, yang menjadi objek akas dalam dayn
adalah berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat)
maupun qimiyat (barang-barang yang tidak
ada persamaannya di pasaran) seperti hewan, barang-barang dagangan dan barang
yang dihitung. Atau dengan perkataan lain, setiap barang yang boleh dijadikan
objek jual beli boleh pula dijadikan akad dayn.
Sedangkan Hanafiyah mengemukakan bahwa
objek akadnya adalah seperti barang-barang yang ditakar (makilat), barang-barang yang ditimbang (mauzunat), barang-barang yang dihitung (ma’dudat) seperti telur, barang-barang yang bisa diukur dengan
meteran (madzru’at). Tetapi,
barang-barang yang tidak ada atau sulit mencari persamaannya dipasaran (qimiyat) tidak boleh dijadikan objek dayn seperti hewan, karena sulit untuk
mengembalikan dengan barang yang sama.
3. Shighat,
yaitu ijab dan qabul.
Dayn adalah suatu akad
kpemilikan atas harta. Oleh karena itu, akad tersebut tidak sah jika tidak
adanya akad ijab dan qabul, seperti halnya dalam jual beli
dan hibah.[2]
C.
Prinsip-Prinsip
dalam Utang Piutang
Adapun
prinsip utang piutang adalah :
1. Pemanfaatan
hutang untuk kemaslahatan.
Hutang
harus benar-benar dimanfaatkan untuk kemaslahatan. Untuk meningkatkan
perekonomian, pendidikan dan pemberdayaan (produktif), hutang diarahkan untuk
peningkatan produktifitas tidak konsumtif dan eksploitatif.
2. Utang-piutang sebagai bentuk tolong-meolong
antar sesama.
Bahwa
anjuran tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, adalah merupakan sendi
tata sosial, di mana al-Qur’an mewajibkan kepada manusia untuk saling tolong
menolong atas setiap usaha yang bermanfaat bagi manusia baik secara individual
atau komunal, bermanfaat untuk urusan agama atau urusan dunia sekaligus
bahu-membahu menolak segala hal yang dapat merusak dan membahayakan bagi
kehidupan bersama[3].
Bagian dari bentuk kerjasama dan tolong
menolong adalah meringankan beban orang lain, baik antar pribadi, antar
golongan, dengan memberikan bantuan pinjaman sesuai kebutuhan, Allah menegaskan dalam
QS. Al-Māidah ayat 2:
“dan tolong menolonglah kamu dalam
mengerjakan kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.”
Penafsiran
Ayat :
Kalimat
Ta’āwanū dalam ayat tersebut adalah
tolong-menolong. Maksudnya diperintahkan hidup bertolong-tolongan, dalam
membina Al-Birru, yaitu segala ragam
maksud yang baik dan berfaedah yang didasarkan kepada menegakkan takwa yaitu mempererat
hubungan dengan Tuhan[4].
3.
Tidak saling merugikan antar debitur dan kreditur.
Hutang
piutang dimaksudkan untuk kebaikan dan kemaslahatan kedua belah pihak debitur
dan kreditur. Prinsip yang ditekankan adalah bahwa hutang piutang tidak boleh merugikan
debitur dan kreditur.
Allah
menganjurkan hutang piutang secara baik, untuk menghilangkan kesulitan dan
penderitaan sementara orang. Praktek hutang piutang merupakan perbuatan
kemanusiaan yang timbul dari rasa kasih sayang yang dianjurkan agama. Tujuan
yang mulia ini bisa berbuah sebaliknya menjadi pemicu perselisihan dan
permusuhan, karena ada sebagian manusia yang tidak jujur, tidak mengerti
kebaikan orang lain bahkan mengingkari janjinya. Karena itulah al-Qur’an
menggariskan ketentuan yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh kedua belah
pihak yang mengadakan perjanjian hutang piutang.
Menghormati
perjanjian dan kepercayaan adalah suatu kewajiban Islami, karena mengandung
pengaruh positif dan faktor yang penting untuk menjaga kedamaian, agar tidak terjadi
kerugian pada kedua belah pihak, memecahkan kesulitan,
menghilangkan perselisihan dan mengharmonisasikan hubungan antar manusia. Seperti yang telah
ditegaskan dalam QS. An-Nahl : 94
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu
sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah
kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi
(manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.”
Penafsiran
ayat :
Demikianlah
kita melihat bahwa Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar janji dan perjanjian yang
adil dan menempatkan kesetiaan memenuhiny sebagai perbuatan yang baik yang
dapat membawa insan kepada derajat yang luhur dalam kehidupan dunia, serta
menjadikannya berbahagia di akhirat[5].
Disamping itu, Allah
menganjurkan memenuhi perjanjian, baik perjanjian antara manusia dengan
Tuhannya maupun perjanjian antar manusia dengan sesamannya. Allah berfirman dalam QS.Al- Māidah : 1
$ygr'¯»t úïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä (#qèù÷rr&
Ïqà)ãèø9$$Î/ 4
“hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian-perjanjian) itu……”
Penafsiran ayat :
Al-Alusi menyalinkan
didalam tafsirnya Ruhur Ma’ani sebagai kesimpulan bahwa ‘uqud ini dapat disimpulkan kepada tiga pokok :
1. ‘aqad diantara seorang
hamba dengan Allah. Artinya manusia mengikat janji dengan Allah bahwa dia akan
tunduk kepada perintah Allah.
2. ‘aqad janji antara
seorang hamba Allah dengan dirinya sendiri. Artinya bahwa dia berjanji akan
berbuat baik dan menghentikan perbuatan yang buruk.
3. ‘aqad janji diantara
seseorang dengan sesamanya. Artinya seseorang berusaha agar menjadi anggota
masyarakat yang memberi faedah kepada sesama manusia.
Zaid din Aslam
mengemukakan bahwa bukanlah janji dengan Allah saja yang wajib dipenuhi oleh
seorang mu’min melainkan mu’min wajib memenuhi janjinya dengan sesama muslim[6].
D.
Mempercepat
Pelunasan Utang sebelum Meninggal
Utang berbeda dengan hibah, shadaqah, dan hadiah. Karena
hibah, shadaqah dan hadiah merupakan pemberian yang tidak perlu di kembalikan,
sedangkan utang adalah pemberian kepemilikan atas barang dengan ketentuan bahwa
barang tersebut harus dikembalikan baik dengan barangnya maupun harganya.
Pengambilan barang tersebut dianjurkan untuk dilakukan
secepatnya, apabila orang yang berutang sudah mampu atau memiliki uang/barang
untuk mengembalikannya. Anjuran tersebut terdapat dalam hadis Nabi berikut ini
:
1. Hadis
Jabir
“Dari
Jabir r.a. ia berkata: “seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia,
kemudian kami memandikannya, membalurnya dngan minyak wangi dan sbagainya dan
mengafaninya. Kemudian kami membawanya kepada Rasulullah saw lalu kami berkata:
‘Mari jenazah ini kita shalatkan. Rasulullah melangkah kemudian bertanya:
‘Apakah mayit ini mempunyai utang?’ kami menjawab: ‘Ya, dua dinar’. Rasulullah
kemudian pergi. Kemudian Abu Qatadah menanggung utang yang dua dinar itu. Lalu
kami datang kepada Nabi, dan Abu Qatadah berkata: ‘saya yang menanggung utang yang
dua dinar itu’. Maka Nabi bersabda: ‘Utang itu adalah penjamin dan mayit bebas
dari padanya’.Abu Qatadah menjawab: ‘Ya’. Setelah itu barulah Nabi
menyalatkannya”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i, dan Ibnu
Hibban serta Hakim menyahihkannya)[7]
2. Hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang orang yang meninggal dan mempunyai
utang.
“Ia
di sandera dengan utangnya, oleh karena itu segera utang tersebut dilunasi.
Kemudian laki-laki itu berkata: ‘Ya Rasulullah sesungguhnya saya telah
membayarnya kecuali ada dua dinar yang dituntut oleh seorang wanita tetapi ia
tidak mempunyai saksi’. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “berikan (bayarkan)
utang itu kepadanya, karena sesungguhnya ia berhak atas utang itu”. (HR.
Ahmad)[8]
Dari hadis-hadis tersebut jelaslah bahwa utang itu
sebaiknya segera dilunasi agar tidak menjadi beban pada saat orang yang
berutang meninggal dunia.
Dalam hadis pertama, Rasulullah tidak mau menyalatkan
jenazah orang yang memiliki utang, kecuali ada yang menanggungnya. Sedangkan
hadis yang kedua dijelaskan bahwa orang yang meninggal dalam keadaan memiliki
utang, ia di sandera oleh utangnya sampai utang tersebut dilunasi.
Dengan demikian, apabila seseorang mempunyai utang dan
ia sudah mampu membayarnya, maka hendaknya utang tersebut segera dilunasi dan
tidak boleh ditunda-tunda. Apabila ia sudah mampu tetapi ia menunda-nunda
pembayaran utangnya, maka ia termasuk orang yang zalim.
Dan apabila kondisi orang yang berutang sudah berada
dalam kesulitan dan ketidakmampuan, maka kepada orang yang memberikan utang
dianjurakan untuk memberikan kelonggaran dalam menunggu sampai ia mampu untuk
membayar utangnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al- Baqarah :
280
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam
kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Penafsiran
ayat :
Dalam
ayat itu tuntutan bagi orang yang beriman untuk memberikan kelapangan kepada
orang yang berhutang kepadanya, apalagi jika yang berhutang itu adalah orang
yang beriman pula, jangan memaksaka utang tersebut untuk segera membayarnya,
karena imannya, niscaya hutangnya akan dibayarnya, berilah dia kesempatan
waktu. Didalam ayat ini dianjurkan kepada yang berpiutang untuk melepaskan
orang tersebut dari hutangnya[9].
E.
Tatakrama
Berutang
1.
Bagi orang yang berutang harus berhati-hati
dan membuat perencanaan yang baik dalam mencicil utangnya
2.
jangan membeli keperluan lain Berusahalah
selalu mempriolitaskan pembayaran utang agar utang dapat dilunasi pada
waktunya, karena dengan adanya utang akan membuat rasa malu dan hina terhadap
dirinya sendiri dan bahkan jika tidak beriman seseorang yang mempunyai banyak
utang akan terjerumus keperbuatan maksiat seperti bunuh diri karena sangat malu
dan stres memkirkan uatngnya yang menumpuk. Seperti yang diriwayatkan dalam
sebuah hadis :
“utang
adalah bendera Allah dibumi, apabila Allah berkehendak untuk menghina
seseorang, diletakkannya utang dipundak orang itu.( HR.Hakim)
3.
Usahakan melunasi utang sebelum waktunya
4.
Sebaiknya pihak debitur atau orang yang
berutang melebihkan pembayarannya dari jumlah uang yang diutang tetapi tanpa
paksaan dari pihak kreditur atau orang yang menghutangi, sebagai wujud
terimakasih terhadap pihak kreditur. Rasulullah bersabda:
“ orang
yang paling baik diantara kamu ialah oramg yang dapat membayar utangnya dengan
yang lebih baik “ ( HR.Ahmad)[10]
5.
Harus mempriolitaskan pembayaran hutang dari
pada pembagian waris. Jika seseorang meninggal dunia dan masih mempunyai hutang
maka harus dilunasi oleh ahli warisnya, seperti yang dijelaskan dalam firman
Allah QS Al-Nisā:12
“Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.”
Penafsiran ayat :
Tentang mendahulukan wasiat
dan hutang selalu diulang-ulang supaya ketika membagikan harta waris jangan
sampai kepunyaan dan hak orang lain dilupakan. Semuanya itu akan dibagi segera
: “(yaitu) sesudah wasiatnya dipenuhi dan atau hutangnya dibayarkan”. Artinya,
sebelum bagian yang menjadi hak ahli waris itu dibagi-bagikan, hendknya
terlebih dahulu dikeluarkan apa-apa yang telah diwasiatkannya. Setelah selesai
wasiat dipenuhi, hendaklah diselesaikan pula hutang-hutangnya. Sehabis membayar
wasiat dan hutang itu barulah dibagikan harta itu.
Dari hal hutang-hutang
sebaiknyalh di damaikan dengan sungguh-sungguh dengan tempat berhutang. Kalau
tidak, dan kalau hutang itu terlalu banyak, mungkin ahli waris hanya mendapat
“angin” saja. Itu sebabnya Rasulullah saw menyuruh kita berdoa selalu kepada
Tuhan agar kita jangan sampai di belenggu hutang[11].
6. Janganlah
pihak kreditur atau orang yang menghutangi memaksa debitur atau orang yang
berhutang untuk membayar lebih dari jumlah utangnya, karena yang demikian itu
termasuk riba. Rasulullah bersabda:
“ tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka itu adalah salah satu
cara dari sekian cara riba”( HR. Baihaqi)
7.
Pihak kreditur hendaknya berniat
memberikan pertolongan kepada pihak debitur.
8. Pihak
kreditur hendaknya memberikan kesempatan leluasa atau waktu yang panjang untuk
pihak debitur untuk melunasi pembayaran utangnya.
9. Dalam
melakukan utang-piutang hendaknya membuat catatann utang atau administrasi
utang. seperti yang dijelaskan dalam firman Allah QS. Al-Baqarah 282.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Penafsiran
ayat :
Ayat
ini memerintahkan supaya perjanjian-perjanjian yang diperbuat dengan
persetujuan kedua belah pihak itu dituliskan dengan terang oleh penulis yang
pandai dan bertanggung jawab.[12]
F.
Pengalihan
Tanggungan Hutang
Pengalihan atau
pemindahan tanggungan hutang biasa disebut dengan hiwalah. Akad atau transaksi ini dibolehkan dalam muamalah islam.
Sebagai contoh akad hiwalah adalah
sebagai berikut :
A
memberikan hutang kepada B sebanyak Rp. 10.000
B
memberikan hutang kepada C sebanyak Rp. 10.000
Sudah berkali-kali A menagih kepada B
tidak berhasil, tetapi A mengetahui bahwa C berhutang kepada B sebanyak
hutangnya kepada A. Kemudian karena dipandang bahwa A akan lebih mudah berhasil
menagih kepada C, maka A meminta kepada B untuk memindahkan haknya kepada C.
Jika hal ini dapat diterima oleh B, maka ia bebas dari tanggungan kepada A dan
tidak menghutangi kepada C lagi, kemudian A hanya berhadapan dengan C.
Syarat-syarat akad pengalihan
tanggungan hutang (hiwalah) adalah
sebagai berikut :
1. Kerelaan
orang yang mengalihkan hutang
2. Persetujuan
orang yang berpiutang
3. Keadaan
hutang (yang dipindahkan) itu sudah tetap menjadi tanggungan.
4. Adanya
persamaan hutang baik dalam jenisnya maupun waktu bayar dan waktu
penangguhannya.[13]
G.
Manfaat
Utang Piutang
1. Hutang
piutang merupakan perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia yang
sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan.
2. Hutang
piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah
serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak.
3. Hutang
piutang dapat membantu meringankan beban sesama
4. Hutang
piutang dapat meningkatkan kesejahteraan orang lain
5. Hutang
piutang jika dilakukan dengan ikhlas maka diakhirat nanti Allah akan
meringankan kesulitannya, seperti yang dinyatakan oleh hadis yang diriwayatkan
oleh imam muslim “barang siapa yang
melepaskan kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya
Allah akan melepaskan kesusahannya dihari qiamat. (HR. Muslim)”[14]
BAB
III
KESIMPULAN
Landasan akad utang-piutang dalam
perspektif tafsir al-ahkam bahwa utang-piutang adalah akad tabarru’ (akad
sosial). Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi orang yang mempiutangi
mengambil keuntungan dari akad utang-piutang yang dilakukannya. Secara lebih
detail, berbagai nash al-Qur’an dan Hadis telah memberikan penjelasan melalui
akad utang-piutang tersebut.
Utang piutang merupakan salah satu
dari sekian banyak jenis kegiatan ekonomi yang dikembangkan dan berlaku di
masyarakat. Sebagai kegiatan ekonomi masyarakat, utang piutang mempunyai
sisi-sisi sosial yang sangat tinggi. Selain itu, utang piutang juga mengandung
nilai-nilai sosial yang cukup signifikan untuk pengembangan perekonomian
masyarakat.
Dalam konsep Islam, utang piutang
merupakan akad (transaksi ekonomi) yang mengandung nilai ta’awun (tolong
menolong). Dengan demikian utang piutang dapat dikatakan sebagai ibadah sosial.
Utang piutang juga memiliki nilai luar biasa terutama guna membantu antar
sesama yang kebetulan tidak mampu secara ekonomi atau sedang membutuhkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta: AMZAH. 2010.
Abdul Rahman
Ghazali, dkk, Fiqih muamalat,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.
Buchari Alma dan Donni Juni
Priansa, Manajemen Bisnis Syari’ah, Bandung:
Alfabeta. 2009.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Singapura: Pustaka
Nasional PTE LTD. 2003
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Manjimas. 1984.
Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Quranul Karim, Bandung:
CV.Diponegoro. 1989.
Moh. Rifa’i, Fiqih. Semarang: Wicaksana. 1986.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta: ATTAHIRIYAH. 1976.
[1] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta, AMZAH, 2010), 278. Selanjutnya ditulis
Wardi Muslich, Fiqh Muamalat.
[2] Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, 279
[3] Abdul Rahman Ghazali, dkk, Fiqih muamalat, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2010) 253. Selanjutnya ditulis Rahman Ghazali, Fiqih
muamalat.
[4] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, Pustaka Nasional PTE LTD, 2003), jilid
3, 1601. Selanjutnya ditulis Hamka, Tafsir
Al-Azhar.
[5] Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Quranul Karim, (Bandung,
CV.Diponegoro, 1989), 174.
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 3,
1592
[7] Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, 282
[8] Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, 283
[9]
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta,
Pustaka Manjimas, 1984), 74. Selanjutnya ditulis Hamka, Tafsir Al-Azhar.
[10] Sulaiman rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta, ATTAHIRIYAH,
1976), 295
[11] Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 2, 1118-1119
[12] Hamka, Tafsir Al-Azhar, 81
[13] Moh. Rifa’i, Fiqih, (Semarang, Wicaksana, 1986), 67
0 komentar:
Posting Komentar