BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Sejarah pembukuan dan penulisan hadits dan ilmu hadits
telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang mulai dari
Rasullullah saw., kemudian terus kepada sahabat, tabi’in, dan seterusnya hingga
saat sekarang hingga mencapai puncaknya pada abad ketiga hijriah
Sebenarnya, setelah para ulama berhasil menyusun
kitab-kitab hadits seperti Shahih Al-Bukhari, kajian terhadap periwayatan
hadits sudah berakhir, tapi sekarang ini terjadi kecenderungan umat Islam telah
melupakan ilmu hadits ini, kebanyakan mereka hanya mengutip hadits-hadits ulama
terdahulu tanpa mengetahui apakah hadits tersebut shahih atau dhai’f.
Oleh karena itu penulis berniat membuat makalah yang
berjudul “Ulumul Hadits, Sejarah dan Perkembangannya” supaya kita dapat
memahami ilmu-ilmu tentang hadits.
B. TUJUAN
Tujuan
pemakalah untuk membuat makalah ini adalah agar para pembaca sekalian
mengetahui apa pengertian ulumul hadits dari sisi riwayah dan dirayah, dan juga
bagaimana sejarah dan perkembangan ulumul hadits dari masa Rasulullah saw.
sampai sekarang. Selain itu kita juga bisa mengetahui apa saja dari
cabang-cabang dari ulumul hadits
C. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana Rasulullah menyebarkan hadist ?
2.Bagaimana metode pengajaran Rasulullah?
3. Bagaimana sistem pembukuan hadist?
BAB II
ANALISIS TEORI
ULUMUL HADITS, SEJARAH DAN
PERKEMBANGAN DAN CABANG -CABANGNYA
A.
Pengertian Ulumul Hadits
1.
Ulumul Hadits Dalam Konteks Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah adalah “ilmu yang mempelajari
hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saw., baik perkataan, perbuatan,
ketetapan, tabi’at maupun tingkah lakunya.”[1]
Ada juga para ulama yang memberikan pengertian bahwasanya
Ilmu Hadits riwayah adalah ilmu yang dalam pembahasannya mencakup perkataan dan
perbuatan Nabi saw., baik yang menyangkut masalah periwayatan, pemeliharaan
maupun penulisan atau pembukuan lafal-lafalnya.
Objek dari ilmu hadits riwayah adalah bagaimana tata cara
menerima dan menyampaikan hadits kepada orang lain, dan bagaimana pula tata
cara pemindahan dan pembukuannya, akan tetapi tidak sampai pada permasalahan
ada tidaknya kejanggalan dan kecacatan pada matannya.
Oleh sebab itu pembahasannya hanya terbatas pada masalah
penyampaian dan pembukuan sesuai dengan apa adanya, baik yang berhubungan dengan
matan mauupun rangkaian merantai para perawinya[2].
Faedah mempelajari ilmu ini: adalah untuk menghindari
adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Perintis pertama ilmu riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhry.[3]
2. Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu Hadits
Dirayah adalah “Ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar,
peraturan-peraturan yang dengannya diketahui perbedaan antara hadits yang
shahih yang disandarkan kepada Rasulullah saw., dan hadits yang diragukan
penyandaran kepadanya.
Yang termasuk cabang-cabang ilmu hadits dirayah antara
lain ilmu rijal al-hadits, ilmu tarikh ar-ruwat, dan ilmu jarh wa ta’dil. Objek
pembahasan Ilmu Dirayah, diantaranya:
1. Keadaan para perawi (راوى
/ رواه), baik yang berkaitan dengan sifat kepribadian (seperti
perilaku keseharian, watak dan kualitas daya ingatannya) maupun masalah sambung
tidaknya rangkaian mata rantai para perawinya.
2. Keadaan yang diriwayatkan ( مروى ), baik dari sisi keshahihan dan kedha’ifannya maupun dari sisi
lain yang berkaitan dengan keadaan matan.
Dengan
demikian, manfaat yang dapat diambil dari mempelajari ilmu hadits dirayah
adalah ilmu yang dapat dijadikan sebagai alat yang dapat dijadikan sebagai alat
untuk mengetahui sejauh mana kualitas sebuah hadits.
Selain manfaat diatas, juga ada manfaat yang lain,
diantaranya:
1. Mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak
masa Rasulullah saw. sampai sekarang,
2. Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha
yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan
hadits,
3. Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan
oleh para ulama dalam megklasifikasikan hadits lebih lanjut,
4. Dapat mengetahui istilah-istilah,
nilai-nilai, dan kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristinbat.[4]
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ulumul
Hadits
1.
Hadits Pada Masa Rasullah saw.
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yaitu umat Islam
dapat secara langsung memperoleh hadits Rasul saw. sebagai sumber hadits.
Antara Rsulullah dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang menghambat dan
mempersulit pertemuannya.
Kedudukan nabi menjadikan semua perkataan, perbuatan dan
taqrir nabi sebagai referensi para sahabat dan para sahabat tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya
kepadanya tentang segala sesuatu yang tidak diketahuinya baik dalam urusan
dunia maupun urusan akhirat. Mereka mentaati semuanya bahkan menirunya.
Ketaatan itu sendiri dimaksudkan agar keberagamannya dapat mencapai tingkat
kesempurnaan.
Ada beberapa cara Rasulullah saw. dalam
menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:
1. Melalui para jema’ah pada pusat
pembinaannya yang disebut dengan majelis al-‘ ilmi.
2. Dalam banyak kesempatan Rasulullah saw.
juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian
disampaikannya kepada orang lain.
2.
Hadits Pada Masa Sahabat
Periode sahabat berlangsung sekitar tahun 11 H sampai 40
H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar dan juga terkenal dengan
sebutan “zamanut tastabbuti wal iqlali minarriwayah ( زمن التثبت والاقلال من الرواية )” yaitu
masa pengokohan dan penyederhananaan riwayat, sehingga masalah penulisan hadits
belum dianggap suatu hal yang mendesak untuk dilaksanakan, hadits masih tetap
di hafal dan upaya-upaya penulisan masih dianggap mengkhawatirkan akan
mengganggu perhatian mereka terhadap penulisan al-Qur’an lantaran keterbatsan
tenaga dan sarana.
Oleh karena itu, Abu Bakar sebagai kalifah pertama
mengeluarkan kebijakan tidak mengizinkan sahabat menulis hadits, bahkan beliau
memerintahkan untuk membakar 500 hadits yang telah di catatnya.
Selanjutnya, melihat faktor kekhawatiran perhatian para
sahabat terhadap program penulisan al-Qur’an terganggu, lalu niat Umar bin
Khattab untuk membuat program penulisan hadits di batalkan, apalagi mayoritas
Sahabat tidak sepakat dengan usaha tersebut.
Sekalipun demikian penulisan hadits tetap saja di lakukan
oleh sahabat, diantaranya adalah Ibnu mas’ud, Ali bin Abi thalib, dan Aisyah,
dan yang lainnya. Karakter yang menonjol dari periode ini adalah kuatnya
komitmen para sahabat terhadap segala bentuk perintah Allah dengan cara
memelihara ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf, sehingga setelah terkumpul
barulah mereka menulis hadits.
3.
Hadits Pada Masa Tabi’in
Pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya,
hanya saja persoalan yang dihadapi agak berbeda, sebab pada masa ini al-Qur’an
sudah terkumpul dalam satu mushaf, sedang para riwayat hadits dari kalangan
sahabat sudah tersebar diberbagai daerah, apalagi setelah pemerintahan dipegang
oleh Bani Umayyah.
Kemudian ketika pemerintahan dipegang oleh ‘Umar bin
Abdul ‘Aziz terbentuklah Lembaga Kodifikasi Hadits secara resmi.Yang
melatarbelakangi Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz untuk mengumpulkan dan
mengkodifikasi hadits pada waktu itu antara lain:
1. Banyak penghafal hadits yang meninggal dunia, baik
karena sudah lanjut usia, ataupun gugur sebagai pahlawan perang.
2. al-Qur’an sudah berkembang begitu luas dalam
masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi mushaf, karenanya tidak perlu
dikhawatirkan lagi hadits bercampur dengan al-Qur’an.
3. Islam telah mulai melebarkan syi’arnya melampaui
jazirah Arab, maka hadits sangat diperlukan sebagai penjelas al-Qur’an.
Oleh karena itu, maka masa ini dikenal dengan sebutan
masa pembukuan (‘ashr al-tadwin / عصر
التدوين ), sehingga pada abad 2 H ini, tersusunlah kitab-kitab koleksi
hadits.[6]
Diantara tokoh-tokoh tabi’in yang termashur dalam bidang
riwayat antara lain Sa’id, Az-Zuhry, ‘Umar ibn Abdul Aziz dan Yazid ibn Habib.[7]
4. Hadits
Pada Abad Ke- 3
Masa ini dikenal dengan sebutan “masa penyaringan
pensyarahan hadits”, terutama pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyya, mulai
dari khalifah Al-Ma’mum sampai Muqtadir (201-300 H). Pensyarahan dan
penyaringan hadits dilakukan karena masa sebelumnya belum berhasil melakukan
pemisahan beberapa hadits dha’if dengan hadits shahih, bahkan
terkesan hadits maudlu’ bercampur dengan hadits shahih.
Ulama yang pertama kali melakukan penyaringan
hadits-hadits shahih adalah Ishak ibn Rahawaih, dan kemudian dilanjutkan oleh
Imam Bukhari, dan diteruskan oleh muridnya Imam Muslim. Pada masa ini, umat
islam telah berhasil melakukan beberapa hal, diantaranya:
1. Memisahkan hadits nabi dari yang bukan hadits (fatwa
sahabat dan tabi’in),
2. mengadakan penyaringan secara ketat terhadap apa saja
yang dikatakan hadits nabi dengan melakukan penelitian pada matad dan mata
rantai sanadnya.[8]
5.
Hadits Pada Abad Ke- 4
Pada masa ini dilakukan sistem penyusunan kitab-kitab
koleksi hadits yang lebih mengarah pada upaya pengembangan dalam berbagai
variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada secara sistematis,
misalnya pola-pola:
1. Menghimpun hadits-hadits yang terdapat pada kitab shahihaini
(kitab shahih Bukhari dan shahih Muslim),
2. Mengumpulkan hadits menurut bidangnya, seperti yang
memuat hadits-hadits tentang hokum
3. Kolektor menyusun kitab athraf, artinya
pengarang hanya menyebutkan permulaan dari tiap-tiap hadits yang dapat
menunjukkan kelanjutannya.
6.
Hadits Pada Abad Ke- 5 - Sekarang
Setelah umat Islam ditaklukkan oleh Bangsa Barat,
penyampaian ajaran Nabi tidak dapat dilakukan secara terang-terangan, akibatnya
kegiatan penelitian terhadap para perawi hadits terhenti.
Sekalipun demikian, masih ada ditemukan ulama yang berani
berkunjung ke berbagai daerah untuk mendiktekan hadits, dengan cara duduk
didalam masjid setiap hari jum’at, lalu menguraikan hadits tentang nilai dan
kandungan sanadnya kepada para jama’ah dan jama’ah mencatatnya, seperti yang
dilakukan oleh Zainuddin al-‘Iraqi (w. 806 H), Ibnu Hajar (w. 858 H),
al-Syakhawi (murid Ibnu Hajar)[9]
C. Cabang
– cabang ilmu hadist
1.
Ilmu Rijal Al-Hadits ( علم رجال الحديث
)
Ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para
perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membicarakan seluk-beluk dan
sejarah kehidupan para perawi, baik dari generasi sahabat, tabi’in maupun tabi’
tabi’in. Intinya objek kajiannya adalah pada matan dan sanad. Perawi yang
menjadi objek kajian ilmu ini adalah
a. Para Sahabat, sebagai penerima pertama dan sebagai
kelompok yang dikenal dengan sebutan thabaqat awwalun (generasi pertama)
b. Para Tabi’in, dikenal sebagai thabaqat tsani
(generasi kedua)
c. Para Muhadlramin, yaitu orang-orang yang
mengalami hidup pada masa jahiliyyah dan masa Nabi saw..
d. Para Muwaliy, yaitu para perawi hadits dan
ulama yang pada awalnya berstatus budak.
Ulama yang pertama kali yang menuyusun kitab riwayat
ringkas para sahabat adalah Al-Bukhary (256 H), dan dilanjutkan oleh Muhammad
Ibnu Saad, dan ada lagi Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam kitabnya yang bernama Al-Istiab.[10]
2. ‘Ilmu
Tarikh al-Ruwwat ( علم تاريخ الرواة
)
Ilmu Tarikh al-Ruwwat adalah ilmu mengetahui para perawi
hadits dari sisi hubungannya dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadits.
Maksudnya adalah ilmu yang membahas masalah sejarah
perjalanan hidup para perawi. Kitab yang membahas masalah ini adalah
a. التاريخ الكبير,
karya al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari (194-256 H),
b. تهذيب الكمال,
karya Jamaluddin bin Yusuf al-Muzziy (742 H),
c. تهذيب التهذيب,
karya Al-Hafidh Syihabuddin Abi al-Fadlal Ahmad bin ‘Ali (Ibn Hajar)
al-‘Atsqalaniy (773-852 H),
3.
‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil ( علم الجرح والتعديل
)
Ilmu al-Jarh wa at-ta’dil adalah “Ilmu yang membahas
keadaan para perawi hadits dari sisi diterima dan ditolaknya periwayatan
mereka.”
Ilmu jarakh wa ta’dil bisa dijadikan sebagai salah satu
alat untuk mengungkapkan sikap negatif dan positif yang melekat pada perawi
hadits.
Diantara ulama yang menyusun kitab ilmu ini antara lain
kitab Tabaqat karya Muhammad ibn Saad Az-Zuhri Al-Basari (230 H).[11]
4.
‘Ilmu Asbab al-Wurud (علم ا سبا ب ا لورود)
Asbabu wurud al-hadist ialah sesuatu yang
membatasi arti dari suatu hadist, baik yang berkaitan dengan arti umum atau
khusus, muqayyadi atau mutallak, di nasakh atau seterusnya.[12]
Menurut istilah, ilmu Asbab Al-Wurud adalah Suatu
ilmu yang membahas masalah sebab-sebab nabi saw menyampaikan sabdanya pada saat
beliau menuturkannya, sedang tata cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya
hadits, hanya bisa diketahui dengan adanya periwayatnya, bukan lainnya.
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara lain:
a. اسباب الحديث
, karya Abu Hafs al-‘Akbari, Syaikh al-Qadli Abi Ya’la Muhammad bin al-Hussain
al-Fazza’I al-Hanbali (380-458 H)
b. البيان والتعريف فى اسباب
ورود الحديث الشريف , karya Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin
Kamaluddin (Ibnu Hamzah) al-Husainiy al-Dimasyqy (1054-1120 H).[13]
5.
‘Ilmu al-Nasikh wa al-mansukh ( علم النسخ والمنسوخ
)
Al-Nasikh Wa Al-Mansukh ialah
Ilmu yang membahas problem hadits-hadits yang secara lahiriyah berlawanan, yang
dintara keduanya tidak mungkin untuk di pertemukan lantaran adanya materi (yang
secara lahiriyah) bertentangan, padahal hakikatnya saling hapus menhapus.
Makanya (hukum) yang datangnya terdahulu dikenal dengan sebutan “mansukh”
dan yang datangnya kemudian dikenal dengan sebutan “nasikh”.
Kitab-kitab terkenal di bidang ini antara lain Nasikh
al-Hadis wa Mansukhih karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Usman yang terkenal
dengan nama Ibnu Syahin (297-385 H) dan al-I'tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukh
min al-Asar karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi (547-584 H).[14]
6.
‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل ا لحد يت)
‘Ilal Al-Hadits ialah ilmu yang membahas
tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat membuat hadits shahih yang menjadi
tercemar, seperti menyatakan hadits muttashi pada hadits yang pada
hakikatnya munqathi’, menyatakan hadits marfu’ pada hadits yang
pada hakikatnya mauquf atau memasukan hadits kedalam
hadits lain dan lain sebagainya.
Ulama ahli hadits yang menyusun kitab ini antara lain Kitab
Ilalil Hadits karya ‘Ibnu Abi Hatim (327 H).[15]
7.
‘Ilmu Gharib al-Hadits (علم غر يب ا لحد يث)
Ilmu Gharib al-Hadits ialah ungkapan arti kosa
kata matan hadits yang sulit dimengerti dan rumit dipahami lantaran kosakata
tersebut memang asing dan tidak dikenal.
Objek pembahasan ilmu ini adalah kata-kata yang sulit
atau susunan kalimat yang sulit dipahami maksud yang sebenarnya.
Diantara para ulama yang pertama kali menyusun
hadits-hadits yang gharib ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Masnat At-Tarmimi
Al-Bisri (w. 210 H) dan salah satu kitab terbaik yang ada saat sekarang ini
adalah kitab Nihayah Gharib Al-Hadis karya Ibnu Al-Asir.[16]
8.
‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits ( علم مختلف الحديث
)
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang membahas
hadits-hadits secara lahiriah saling bertentangan, lalu dihilangkan atau
keduanya dikompromikan, sebagaiman membahas masalah hadits-hadits yang kandungannya
sulit dipahami atau sulit dicari gambaran yang sebenarnya, lalu kesulitan
tersebut dihilangkan dan dijelaskan hakikat yang sebenarnya.
Objek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits yang
secara lahiriyyah saling bertentangan, sehingga dengan mempergunakan ilmu ini,
tingkat kesulitan bisa teratasi.
Adapun ulama yang pertama kali meyusun kitab yang khusus
membahas ilmu ini adalah Imam Syafi’i dengan bentuk satu jilid dalam kitabnya
al-Um, juz VII yang berjudul “Ikhtilaf al-Hadits” lalu disusul oleh
ulama lain, diantaranya kitab Musykil al-atsar karya Abu Ja’far Ahmad
bin Muhammad Al-Thahawi (321 H).[17]
9.
‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif ( علم التصحيف والتحريف
)
‘Ilmu al-tashhif wa al-tahrif adalah ilmu yang membahas
keadaan hadits-hadits yang sudah diubah titik-titik atau syakal (مصحف )nya dan
bentuk (محرف)nya.
Adapun kitab yang membahas ilmu ini antara lain kitab Ad
Daraquthny (385 H) dan kitab At Tashhif wat tahrif, karangan Abu Ahmad Al
Askary (283 H).[18]
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Langkah-Langkah Nabi saw dalam menyebarkan
Hadits/Sunnah
1. Mendirikan sekolah;
Ketika
Rasulullah masih berada di Makkah, beliau menyebarkan sunnahnya dengan
mendirikan semacam majlis ta’lim (kelompok dakwah) sebagaimana yang terjadi di
rumah al-Arqam (bait al-Arqam) dan sahabat yang lain. Kemudian setelah hijrah
ke kota Madinah
beliau mendirikan sekolah/madrsah. Berbagai majlis ilmu ini bukan hanya
diadakan di masjid tetapi juga di rumah-rumah, termasuk pertemuan husus untuk
kaum wanita. Pada majlis-majlis inilah para sahabat menerima hadits Nabi,
kemudian para sahabat mempelajari dan mengulanginya serta menghafal.[i] Di samping itu kegiatan
sekolah ini pada umumnya juga mengirimkan guru dan katib ke berbagai
wilayah di luar kota
Madinah. Contohnya sejumlah utusan dikirim ke Adzal dan Qara pada tahun ke 3 H.
Ke Bi’ru Ma’unah tahun ke 4 H, ke Najran, Yaman dan Hadramaut tahun ke 9 H.[ii]
2. Memberikan Perintah/Instruksi;
Nabi
bersabda, “Sampaikanlah pengetahuan dariku meskipun hanya satu ayat.”[iii] Tekanan yang sama dapat
dilihat pada pidato Nabi saw pada saat Hajji wada’: “Yang hadir di sini hendaklah
menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir.” [iv] Karena itu merupakan
praktik umum di kalangan sahabat Nabi untuk memberitahukan ucapan dan perbuatan
Nabi kepada sahabat yang lain yang tidak hadir. Delegasi yang dating ke Kota
Madinah diperintahkan untuk mengajarkan kepada kaumnya. Contoh seperti Malik
bin Huwairits ditugasi oleh Nabi mengajar pada kaumnya. Tugas ini tetap diemban
hingga jauh sesudah Rasul wafat. Tugas yang sama juga diberikan kepada yang
lain.[v]
3. Memberi Motivasi Bagi
Pengajar dan Penuntut Ilmu;
Nabi saw tidak hanya memeritah dalam mendidik
masyarakat, tetapi juga menjanjikan penghargaan (pahala) yang besar bagi subyek pendidikan. Nabi saw
bersabda :” Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”[vi]. “Barang siapa menempuh
jalan menuju pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”[vii] Bagi mereka yang
mengajar, Rasulullah menyampaikan sabdanya;” Barang siapa menunjukkan jalan
kebaikan, maka ia akan memperoleh pahala yang besarnya sama dengan orang yang
melakukan perbuatan baik tersebt”. Bahkan Rasul memberikan peringatan kepada
orang yang berilmu , tetapi tidak mau mengajarkan kepada yang lain :”Barang
siapa menyimpan/menahan ilmu, maka ia akan dicambuk dengan api neraka”.[viii] Sungguhpun demikian
Nabi tetap menyerukan supaya penyampaian hadits itu dilakukan dengan penuh
tanggung jawab dan jujur. Untuk itu nabi
memberikan peringatan:”Barang siapa berdusta atas nama-ku, maka bersiaplah
menempati kedukannya/tempat duduknya di Neraka”.
B. Metode Pengajaran Nabi
Metode yang digunakan
Nabi saw untuk mengajarkan hadits/sunnahnya dapat dibagi ke dalam tiga
kategori: yaitu metode lisan, metode tulisan dan metode peragaan praktis.
1. Metode Lisan
Nabi saw adalah guru bagi sunnah dan
ummatnya. Untuk memudahkan hafalan dan pengertian, beliau biasa mengulangi
hal-hal penting sampai tiga kali. Sesudah mengajari shahabat, biasanya beliau
mendengarkan lagi apa yang sudah mereka pelajari.[ix]
Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Nabi saw dalam menyampaikan pesan dengan
lisan ini, yaitu : Pertama, Nabi menyampaikan pesannya di hadapan
jam’ah. Dalam kesempatan semacaam ini para sahabat banyak yang memanfalkannya
secara antusias. Oleh karena itu farum
ini dihadiri secara bergantian, seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar bin
Khattab, artinya jika sewaktu-waktu ia tak dapat hadir, maka ia berpesan kepada
temannya yang hadir supaya menginformasikan hasilnya kepada Umar. Demikian pula
jika Umar yang hadir, sementara kawannya absen, maka Umar berkewajiban
menginformasikan hasilnya.[x]
Bahkan kepala suku yang jauh mengirimkan utusannya ke majlis ini, untuk
kemudian mengajarkannya kepada anggota suku mereka.
Kedua, dalam banyak kesempatan
Rasulullah juga menyampaikan pesan haditsnya kepada sahabat tertentu, kemudian
oleh sahabat tersebut disampaikan kepada yang lain. Hal ini terjadi karena
secara tehnis memang mengharuskan demikian. Contohnya seperti ketika Rasulullah
menyampaikan petunjuk yang berhubungan dengan hal-hal yang sensitive, seperti
mengenai hubungan suami istri, Dalam hal ini disampaikan Nabi kepada
istri-istrinya. Contoh lainnya, ketika Rasul dalam suatu perjalanan bersama
beberapa orang sahabatnya, maka dalam hal ini yang menerima langsung hanya
sedikit, kemudian berita itu diteruskan oleh sahabat yang mendampingi Nabi,
kepada sahabat lain yang tidak ikut
2. Metode Tulisan
Seluruh
surat Rasulullah kepada raja-raja, penguasa daerah, kepala suku dan gubernur
Muslim dapat dikategorikan ke dalam metode tulisan. Beberapa surat terdapat
yang isinya sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum ibadah, zakat
dan perpajakan, serta lainnya. Jumlah hadits Nabi yang ditulis dalam bentuk
surat Nabi ini cukup banyak, apalagi jika digabung dengan tulisan Abdullah bin
Amr bin Ash, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dan sebagainya.
Memang
metode tulis dalam penyampaian hadits ini pernah menjadi perdebatan, khususnya
pada masa Nabi dan sahabat. Akan tetapi menurut penelitian Musthafa A’dhami ,
data sejarah memperkuat metode tulisan juga digunakan oleh Rasulullah.
Para penulis sejarah Rasul,
ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul
Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul
mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di
tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di
batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW.
wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu,
ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum
terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam
penulisannya ketika itu belum memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran.
Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena
tidak diperintahkan oleh Rasul (secara husus) sebagaimana ia memerintahkan
mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki
catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang
pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang
mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang
menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya
terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu. Mereka beralasan bahwa
Rasulullah telah bersabda
Artinya:
"Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)
"Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. " (HR. Muslim)
Mereka berkata kepada Abdullah bin Amr bin
Ash, "Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau
kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak
dijadikan syariat umum." Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya
kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda: [xi]
Artinya:
"Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".
"Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran ".
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali
bin Abi Thalib mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah
buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: "Tidak ada dari seorang sahabat
Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah dari padaku, selain
Abdullah bin Amr bin Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku
tidak menulisnya". Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis
hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin, yang
datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah
tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka
memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah
ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis Nabi
dengan AI-Quran Sedangkan izin penulisan hanya diberikan kepada mereka yang
tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis Nabi dengan Al-Quran. Oleh karena
itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula
turunannya, maka tidak ada larangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua
hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa
larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan
mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya.
Sedangkan izin menulis hadis Nabi diberikan kepada mereka yang hanya menulis
sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.[19]
C. Periode
Penyempurnaan Sistematika Pembukuan
Periode
ini dimulai pada masa pemerintahan Bani Abbas angakatan ke dua (masa
pemerintahan al-Muqtadir). Masa ini disebut juga dengan istilah periode ulama muta’akhirin[xii].
Mulai pada periode ini dinamakan sebagai masa pemeliharaan, penertiban,
penambahan, penggabungan, pensyarahan dan pentahrijan.
a.
Kegiatan Para Ulama
Pada
periode ini kaadaan daulat islamiyah sudah mulai melemah, namun kegiatan
para ulama hadits dalam melestarikan hadits Nabi tetap tidak terpengaruh, sebab
kenyataannya masih sangat banyak para ulama yang menekuni dan mendalami serta
bersungguh-sungguh dalam memelihara dan mengembangkan pembinaan hadits,
sekalipun caranya berbeda dengan ulama sebelumnya.
Pada
abad III H hampir seluruh hadits Nabi
telah terbukukan. Oleh karena itu kegiatan para ulama abad IV H ini, meskipun
masih ada yang melakukan usaha pembukuan (melakukan perlawatan ke daerah dengan
tujuan mendapatkan hadits untuk dihimpunan dalam suatu kitab), tetapi
kebanyakan kegiatan mereka ditujukan
kepada pemeliharaan hadits dengan berpedoman pada kitab-kitab yang sudah ada,
dengan cara (1) mempelajari (2)
menghafal (3) memeriksa dan menyelidiki sanad (4) menyusun kitab-kitab baru
dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan
matan yang saling berhubungan serta yang
telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang sudah ada (5) memberikan syarah
dan komentar hadits-hadits yang sudah dihimpun dalam kitab hadits yang ada.
Di
antara kitab-kitab yang tersusun pada abad ini ialah sebagai berikut:
1. Kitab
al-Shahih, karya Ibnu Huzaimah
2. Al-Anwa’
wa al-Taqsim, susunan Ibnu Hibban
3. Kitab
Musnad, karya Abu Awanah
4. Al-Muntaqa
, susunan Ibnu Jarud
5. dan
lain-lain
b.
Ciri-Ciri Sistem Pembukuan Hadits
Ulama hadits pada periode ini di samping
menyusun kitab hadits seperti metode yang ditempuh ulama sebelumnya, yaitu
dalam bentuk mushannaf dan musnad, juga menyususn kitab hadits
dengan sistem baru sebagai berikut:
1. Kitab Athraf; yaitu kitab hadits
yang isinya hanya menyebut sebagian-sebagian dari matan hadits tertentu,
kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan yang bersangkutan., baik dari
sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip, maupun dari kitab lain.
Misalnya :
a. Athraf
al-Shahihain, karya Ibrahin al-Dimasyqy
b. Athraf
sl-Shahihain, susunan
Abu Muhammad Khallaf Ibnu Muhammad al-Wasithi
c. Athraf
Kutub al-Sittah, susunan Muhammad Ibnu Thahir al-Maqdisi
2.
Kitab Mustakhraj; yaitu kitab hadits yang memuat matan-matan
hadits yang diriwayatkan misalnya oleh al-Bukhari dan Muslim, atau salah
satunya, kemudian penyusun kitab meriwayatkan matan-matan hadits tersebut
dengan menggunakan sanadnya sendiri yang berbeda. Misalnya:
a. Mustakhraj Shahih al-Bukhari , karya al-Jurjani
b.
Mustakhraj Shahih Muslim, karya Abu Awanah
c.
Mustakhraj Bukhari-Muslim, karya Abu Bakar Ibnu
Abdan al-Syirazi
3.
Kitab al-Mustadrak; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits
hadits yang memiliki syarat , misalnya Bukhari-Muslim, atau memiliki syarat
dengan salah satu kitab Bukhari-Muslim. Contohnya : Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihaini, karya Imam al-Hakim
4. Kitab Jami’ ;
yaitu kitab hadits yang menghimpun (mengumpulkan )hadits hadits Nabi yang
terlah termuat dalam kitab yang telah ada dalam satu kitab tertentu. Contohnya
:
a. Al-Jami’
Baina al-Shahihaini, karya Ibnu al-Furat
b.
Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya
al-Baghawi
c.
Mashabih al-Sunan, karya al-Baghawi
5. Kitab Berdasar pokok Masalah; yaitu kitab
hadits yang menghimpun hadits hadits Nabi berdasar masalah tertentu dari
kitab-kitab yang telah ada, contohnya antara lain:
a. Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majduddin
Abd. Salam
b.
Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baghawi
c.
Umdat al-Ahkam, karya Abd. Ghoni al-Maqdisi
6. Kitab
Syarah ; yaitu kitab hadits yang memuat hadits-hadits dari kitab
tertentu yang sudah ada, kemudian dijelaskan dan dikomentari maksudnya, baik
dengan menggunakan ayat al-qur’an, atau hadits nabi atau dengan keterangan
rasional. Contohnya antara lain:
a. Fath
al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Atsqalani
b. Al-Minhaj,
Syarah Muslim, karya Imam al-Nawawi
c. Aun
al-Ma’bud, syarah Sunan Abi Dawud, karya Syamsul Haq al-Adhim al-Abady
d. Qutul
Mughtadzi, Syarah al-Turmudzi, karya Imam al-Syuyuthi
e. Syarah
Ta’liq, syarah sunan al-Nasa’i, karya Imam al-Syuyuthi
f. Al-Dibajah,
syarah Sunan Ibnu Majah, karya
Kamaluddin al-Damiri.
7. Kitab
Mukhtashar; yaitu kitab hadits yang memuat hadits hadits yang sudah
dihimpun dalam kitab yang sudah ada,
dengan cara menyederhanakan / meringkas periwayatan hadits tertentu. Misalnya
dengan membuang sanad, Contoh :
a. Al-Jami’
al-Shaghir, mukhtashar kitab Jam’ul Jawami’, karya Imam al-Syuyuthi
b. Muhtashar
Shahih-Muslim, karya Muhammad Fu’ad Abd. Baqi
8. Kitab
Petunjuk /Kamus Hadits : yaitu kitab yang disusun dengan memuat sebagian
kalimat dari sustu hadits Nabi, kemudian menjelaskan letak hadits yang dimaksud
di dalam kitab-kitab hadits; mulai dari nama kitab, bab dan sub babnya.
Sebagian kitab kamus hadits, ada yang menyebut tempat hadits dengan menunjuk
juz dan halaman kitab hadits yang dimaksud. Contohnya antara lain ialah kitab Miftah
Kunuz al-Sunnah, karya Prof. Dr. A.J.Winsink. Kitab ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abd. Baqy. Kitab ini memberikan petunjuk
untuk mencari matan hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits (Kitab
shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan
al-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Darimi,
Muwattha’ Malik, Musnad Zaid bin
Ali, Musnad Abu Dawud al-Thayalisi,
Musnad Ahmad bin Hambal, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Sirat Ibnu Hisyam dan
al-Maghazi al-Waqidi)
9. Kitab
Tahrij ; yaitu kitab yang disusun dengan memuat penjelasan tentang
tempat-tempat pengambilah hadits yang dimuat dalam kitab tertentu, selkaligus
menjelaskan kualitanya. Di antara contohnya :
a. Kitab Takhrij Ahadits al-Anbiya’,
karya Al-Iraqi, merupakan kitab tahrij terhadap hadits-hadits yang ada
dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, karya al-Ghazali
b. hadits-hadits
yang dimuat dalam kitab Tafsir Baidhawi .
10 Kitab Zawa’id ; yaitu kitab hadits yang
disusun dengan memuat hadits-hadits yang diriwayatakan oleh ulama hadits
tertentu (dan dimuat dalam kitab ulama tersebut, misalnya hadits yang dimuat
dalam kitab Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi), tetapi tidak dimuat di dalam
kitab hadits yang disusun oleh ulama tertentu pula.Contohnya Seperti kitab Zawaid al-Sunan al-Kubra, karya al-Bushiri. Memuat
hadits hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi. Tetapi tidak dimuat dalam
al-Kutub al-Sittah.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu Hadits Dirayah adalah “Ilmu yang membahas tentang
kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan yang dengannya diketahui
perbedaan antara hadits yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah saw.,
dan hadits yang diragukan penyandaran kepadanya.
Ilmu Hadits Riwayah adalah “ilmu yang mempelajari
hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saw., baik perkataan, perbuatan,
ketetapan, tabi’at maupun tingkah lakunya.”
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ulumul hadits
terbagi beberapa periode : Hadits Pada Masa Rasullah saw, Hadits Pada Masa
Sahabat, Hadits Pada Masa Tabi’in, Hadits Pada Abad Ke- 3, Hadits Pada Abad Ke-
4, Hadits Pada Abad Ke- 5 – Sekarang
Cabang-cabang
“ulum al-hadits” antara lain: Ilmu Rijal Al-Hadits ( علم
رجال الحديث ), Ilmu Tarikh al-Ruwwat ( علم تاريخ
الرواة ), ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta’dil ( علم
الجرح والتعديل ), ‘Ilmu Asbab al-Wurud (علم ا سبا ب ا
لورود), ‘Ilmu al-Nasikh wa al-mansukh ( علم
النسخ والمنسوخ ), ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits (علم علل ا
لحد يت), ‘Ilmu Gharib al-Hadits (علم غر يب ا
لحد يث), ‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits ( علم
مختلف الحديث ), ‘Ilmu al-Tash-hif Wa al-Tahrif ( علم
التصحيف والتحريف )
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M. dan Muzakkir. 1998. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka Setia
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. 1997. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Mashum Zein, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits,
(Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007.
Http://Www.Cybermq.Com/Pustaka/Detail//98/Ulumul-Hadis.
Http://Www.Homeartikel.Co.Cc/2009/12/Pengertian-Dan-Sejarah-Cabang-Cabang.
[2] Mashum Zein, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits,
(Direktorat Pendidikan Madrasah Dirjen Pendis Depag, 2007), hlm. 98
[7] Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 54
[16]Mudasir,
Op.cit., hlm. 56
[19]
Nur Sulaiman Prof. Dr. Antologi Ilmu
Hadits (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008 )hal. 46-48
CATATAN
AHIR PAKET 3
[i]Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa, 1991) hal. 83
[ii]Muhammad
Musthafa A’dhami, (selanjutnya disingkat M.M.A’dhami) Memahami Ilmu Hadits,
(Lentera, 1993), hal 14; Lihat pula pada Muhammad Musthafa A’dzami, Prof. Hadits
Nabi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994) hal. 80-85
[iii]Kelengkapan
hadits ini dmuat dalam kitab Sunan al-Turmudzi, bab al-ilmu ‘an
Rasulullah . Demikian pula dalam Shahih al-Bukhari pada bab ahadits al-anbiya’
[iv]Hadits
ini secara lebih lengkap dapat dilihat pada Shahih al-Bukhari, bab al-ilmu
dan bab al-Haji
[vi]Hadits
ini diriwayatkan Ibnu Majah dalam kitabnya pada bab Muqaddimah
[vii]
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari bab
al-Ilmi. Demikain pula Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim, bab Ilmu.
[viii]Lihat
misalnya pada Sunan Ibnu Majah, bab al-Muqaddimah
[ix]M.M.
A’dhami, Memahami Ilmu…..op. cit. hal. 13
[x]Utang
Ranuwijaya dan Mundzir Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: Grafindo Persada, 1993) ha. 59
[xi]Nur
Sulaiman Prof. Dr. Antologi Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008 )hal.
46-48
[xii]Ulama
yang hidup sebelum abad IV H dinamakan ulama mtaqaddimin (salaf/klasik).
Sedangkan ulama yang hidup pada abad IV H dinamakan ulama muta’akhkhirin
(modern)
0 komentar:
Posting Komentar